Selasa, 30 April 2013

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 1
Abstract
The field of social affairs of Islamic law has been paid attention more betterrecently. This indicates by the emerging of many kinds of the finance and syariah business institution.Besides, it also enlarging of Islamic court authority in handling the cases not only inheritance, the last will, gifth, and the waqf but also those of syariah economics. Hence, it is urgent need to study the basic principles that becoming the substance of transaction. Departing from these basic principles can support to handle the cases that arise in this field of Islamic law. This contrary to the model of Islamic jurists that always study many kinds of particular transactions without describing the general principle. This article aims to describe the general principles of the elements and the criteria
Keywords: akad, perjanjian, prinsip, Islam, dan sengketa.
I. Pendahuluan
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana hukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk trnasaksi ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum didapat pengaturannya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fuqaha klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara atomistik, di mana para fuqaha langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati perjanjian-perjanjian khusus tersebut. Dalam kitab-kitab fiqih, para fuqaha
klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa, serikat atau persekutuan usaha.
Untuk menjawab kebutuhan di atas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam di zaman moderen ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik tersebut. Hal ini semakin beralasan, karena hukum Islam di bidang muamalat ini semakin mempunyai arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini tentunya menuntut penjustifikasian dari aspek syariah.
Dalam konteks Indonesia, perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk memperluas aturan formal hukum Islam ke dalam bidang muamalat. Usulan ini telah dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut dapat dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut. Makalah ini selanjutnya akan berusaha membahas permalahan rukun dan syarat akad tersebut.
II. Perbedaan Pemaknaan Istilah Rukun dan Syarat
Untuk terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad.
Hanya saja, di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul
Fuqaha Hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yakni sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul akad bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkannya.Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatan sholat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini maka al-aqid (orang/pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. 
Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy). Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad.
Berdasarkan perbedaan pendangan dua kelompok di atas tentang rukun akad, maka Mustafa Ahmad az-Zarqa menawarkan istilah lain untuk
menyatukan pandangan kedua kelompok tersebut tentang apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan rukun. Beliau menyebutnya dengan istilah muqawwimat akad (unsur penegak akad), di mana salah satunya adalah rukun akad, ijab dan qabul. Sedangkan unsur lainnya adalah para pihak, objek akad dan tujuan akad.
III. Rukun dan Syarat Akad
A. Rukun dan Syarat Akad Pertama: Al-‘Aqidain (Para Pihak)
Ijab dan qabul sebagai esensi akad tidak dapat terlaksana tanpa adanya al-‘aqidain (kedua pihak yang melakukan akad). Agar ijab dan qabul benar-benar mempunyai akibat hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijab dan qabul dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yakni bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
Dilihat dari segi kecakapan melaksanakan akad, sebagian di antara manusia tidak dapat melaksanakan akad apapun, sebagian lagi bisa melaksanakan akad tertentu dan sebagian lagi cakap melakukan semua akad. Adanya perbedaan kualifikasi dalam melakukan akad antara satu orang dengan yang lain sangat ditentukan oleh permasalahan ahliyyah (kelayakan melakukan akad). Berikut ini akan diberikan penjelasan tentang permasalahan ahliyyah ini.
Menurut para ahli fuqaha dan ahli usul, ahliyyah didefenisikan dengan “kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan memikul kewajiban, dan kecakapan untuk melakukan tasarruf”. Dengan demikian, kecakapan dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif , dan inilah yang dimaksudkan oleh kata-kata tasarruf di atas.
Ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta
miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa. 
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah kecakapan seseorang untuk melakukan tasarruf (tindakan hukum) dan dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut, yang berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakan ahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal sehat. Atau dengan kata lain telah mencapai usia dewasa.
Selama ini, pembahasan makna kedewasaan oleh para ahli ushul selalu dikaitkan dengan tanda-Tanda fisik seperti ihtilam dan haid, batasan umur ketika telah mencapai 15, 17 atau 18 tahun, dan sebagainya.
Menurut Syamsul Anwar, kedewasaan dan tamyiz haruslah dibedakan dalam kaitannya dengan ibadah dengan kedewasaan dan tamyiz dalam lapangan hukum harta kekayaan (muamalat maliyah). Lebih lanjut menurut beliau, patokan kedewasaan dalam lapangan hukum muamalat malah lebih tepat bila didasarkan kepada QS. 4:6. Dalam ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa anak yatim dapat mengelola harta kekayaannya sendiri ketika ia telah mencapai usia baligh untuk menikah dan matang (rusyd). Baligh di sini maksudnya adalah anak itu telah ihtilam, yakni keluar mani, sehingga ia mampu melaksanakan pernikahan. Hanya saja ulama berbeda pendapat kapan usia ihtilam tersebut dan bagaimana kriteria rusyd tersebut. Ada yang menyebutkan 12 tahun merupakan usia ihtilam. Sedangkan maksud rusyd adalah kemampuan bertindak secara tepat (isbatul haqq) seperti yang dikemukakan oleh al-Mawardi, dan ada juga yang menyatakan bahwa rusyd adalah sikap yang benar dan terkendali dalam tindakan mengelola kekayaan.
  Dalam kontek Indonesia, kata rusyd tersebut dalam diterjemahkan dengan kata kematangan. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan bahwa anak yang berusia 15 tahun ternyata belum begitu matang dalam berpikir apalagi untuk bertindak yang menyangkut kekayaan. Oleh karena itu untuk menentukan kedewasaan dalam lapangan hukum kekayaaan lebih tepat dianut pendapat fuqaha Hanafi bahwa maksud dewasa adalah ketika seseorang memasuki usia 18 tahun dan 19 tahun, karena anak pada usia tersebut telah matang secara fisiologis dan psikologis tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan, tanpa ada pembedaaan. Ini sesuai pula dengan adat kebiasaan yang menganggap kematangan usia tercapai pada usia 18 tahun.
Begitu pula dengan usia 7 tahun sebagai batas usia tamyiz, lebih dekat pada kriteria yang berlaku dalam ibadah. Untuk lapangan harta kekayaan diperlukan usia lebih besar tetapi belum matang, yakni usia 12 tahun hingga 18 tahun, karena pada usia 12 tahun anak sudah dapat melakukan tindakan yang murni menguntungkan pada usia 12 tahun, sedangkan usia di bawahnya masih dipandang sebagai usia kanak-kanak.Hal ini sejalan pula dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang membatasi usia mumayyiz pada usia 12 tahun.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa periodesasi manusia dalam kaitannya dengan tingkat-tingkat kecakapan hukum dalam hukum harta kekayaan adalah: (1) periode janin di mana subjek hukum memiliki kecakapan menerima hukum tidak sempurna, (2) periode kanak-kanak yaitu usia 0 tahun hingga genap 11 tahun, di mana ia memiliki kecakapan menerima hukum sempurna, hanya saja untuk kewajiban ia dapat menerima kewajiban terbatas, (3) anak mumayyiz, yakni usia 12 tahun hingga genap usia 18 tahun, di mana ia memiliki kecapakan bertindak hukum tidak sempurna di samping kecakapan menerima hukum sempurna, dan (4) orang berusia genap 18 tahun, adalah orang dewasa dan memiliki kecakapan bertindak hukum sempurna, di samping kecakapan menerima hukum sempurna.
2. Syarat kedua adalah bahwa untuk terwujudnya akad harus berbilang pihak atau lebih dari satu pihak, karena pada hakekatnya, akad merupakan pertemuan antara ijab di satu pihak dan qabul di pihak yang lain.
Akad tidak terwujud hanya dengan satu pihak saja, sebab dalam setiap akad harus ada dua pihak. Namun, adakalanya seseorang melakukan akad dengan mewakilkannya atau memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan akad atas namanya. Demikian juga seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain untuk menutup suatu perjanjian. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan akad dengan dirinya sendiri baik sebagai pihak asil (prinsipil) di satu sisi dan di pihak lain dalam waktu yang sama juga menjadi wakil pihak lain, atau sekaligus menjadi wakil dari dua pihak dalam penutupan perjanjian. Bentuk kedua akad perwakilan ini adalah tidak sah, karena pada asasnya dalam hukum Islam penutupan perjanjian dengan diri sendiri tidak boleh dilakukan kecuali ayah atau kakek yang mewakili anak atau cucu
di bawah perwaliannya. Hal ini karena tindakan tersebut membawa pertentangan kepentingan sebab satu orang yang sama menjadi kreditor dan debitur serta penyerah dan penerima sekaligus dalam waktu yang sama. Satu orang yang sama tidak dapat menjadi sangkutan hak-hak yang saling berhadapan.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi


Tiada ulasan:

Catat Ulasan