Selasa, 30 April 2013

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 4 
D. Rukun dan Syarat Akad Keempat: Tujuan Akad
Tujuan akad ini merupakan rukun tambahan, di mana sebelumnya rukun akad disebutkan hanya tiga yaitu para pihak, sighat dan objek akad. Oleh ahli hukum Islam moderen menambahkan satu lagi yaitu. tujuan akad. Dalam akad, kita mengenal adanya hukum akad yakni akibat hukum yang timbul dari akad, yang dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu hukum pokok akad dan hukum tambahan akad. Hukum pokok akad adalah akibat hukum yang pokok yang menjadi maksud dan tujuan bersama yang hendak direalisasikan oleh para pihak melalui akad. Hukum pokok akad inilah yang dimaksudkan dengan tujuan akad yang menjadi rukun keempat.48 Misalnya tujuan pokok akad jual beli adalah memindahkan hak milik atas barang dengan sejumlah imbalan. Sedangkan hukum tambahan akad adalah hak dan kewajiban yang timbul dari akad, misalnya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
Beberapa pengkaji hukum moderen melihat konsep tujuan akad ini sebagai kausa yang menjadi dasar keabsahan dan pembatalan perjanjian. Teori kausa sendiri merupakan konsep yang berkembang dalam hukum Barat. Dengan demikian, mereka mencoba berbicara teori kausa dalam hukum perjanjian Islam dalam kerangka hukum barat. Tidak ada kesepakatan tentang teori kausa ini dalam hukum perjanjian Islam apakah ia sama dengan motif atau ia merupakan consideration (prestasi), sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam hukum Barat sendiri. Ada juga yang menganggapnya sebagai tujuan bersama para pihak
Abdur Razaq as-Sanhuri merupakan sarjana hukum Islam moderen yang menganggap kausa adalah motif. Walaupun hukum Islam tidak merumuskan ajaran kausa ini secara khusus, namun dari berbagai detail perjanjian khusus, ajaran kausa ini dapat dirumuskan. Menurutnya, dengan mengkaji aneka perjanjian khusus tersebut, terlihat hukum Islam berada di antara dua kutub semangat yang berlawanan. Pertama, hukum Islam yang bercirikan semangat objektivisme, yang lebih mementingkan dan memberikan perhatian lebih terhadap ungkapan kehendak daripada kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran kausa sulit untuk mendapat tempat dan tidak berkembang. Kedua, hukum Islam yang dicirikan oleh semangat dan prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari agama itu sendiri. Di sinilah ajaran kausa mendapat tempat yang luas, di mana ia digunakan untuk mengukur kesucian hati dan niat seseorang dalam melakukan perjanjian.
Jika perbedaan orientasi di atas dikaitkan dengan mazhab hukum dalam Islam, maka mazhab Hanafi dan Syafi’i masuk ke dalam kategori mazhab yang dikuasai oleh semangat objektivisme. Dalam kedua mazhab ini, motif pembentukan akad tidak dipertimbangkan kecuali kalau disebutkan dalam akad. Motif hanya bisa masuk dalam wilayah yang sangat sempit melalui formula akad dan ungkapan kehendak, kalau motif tidak disebutkan dalam pernyataan kehendak, maka motif tidak diperhitungkan. Ketika motif telah disebutkan dalam perjanjian, maka sah atau tidaknya perjanjian tersebut tergantung pada sah atau tidaknya kausa tersebut. Jika seseorang menyewa mobil untuk membunuh orang maka akad sewa tersebut tidak sah karena kausanya adalah suatu yang terlarang, yakni membunuh. Sebaliknya kalau seseorang berniat menikahi orang lain dengan niat untuk diceraikan setelah 2 hari pernikahan, maka pernikahan tersebut dipandang sah selama tidakdiungkapkan dalam formula akad. demikian pendapat Syafi’i
Kausa dapat pula disimpulkan secara diam-diam dengan melihat sifat dan hakikat objek akad. Jual beli alat musik misalnya, bisa menjadi tidak sah karena sifat dan hakikat dari objek jual beli terkandung sifat hura-hura yang bisa menjauhkan orang dari mengingat Allah. Demikian pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, murid dari Abu Hanifah. Namun menurut Abu Hanifah sendiri membolehkan akad tersebut karena alat-alat musik itu bisa saja digunakan untuk keperluan lain tidak mesti untuk hura-hura, meskipun sifat hura-hura terkandung dalam sifat objek akad.
Mazhab Maliki dan Hanbali adalah mazhab yang dapat dikategorikan sebagai mazhab yang didominasi oleh konsep etis dan moral sehingga memberi tempat yang sangat luas bagi motif tanpa mempertimbangkan apakah motif tersebut terkandung atau tidak di dalam pernyataan kehendak (ungkapan akad) selama motif tersebut diketahui oleh pihak lawan. Perjanjian menjadi batal atau tidak tergantung pada apakah motif itu sah atau tidak. Hal ini dapat dilihat dalam kasus jual beli senjata kepada orang yang diketahuinya bermaksud menggunakannya untuk membunuh orang, maka jual beli tersebut batal. Sebaliknya, bila ia menjualnya kepada prang yang diketahuinya untuk berjihad fi sabilillah, maka jual beli itu sah. Demikian juga yang yang melakukan riba dengan akad jual beli yang dilakukannya, maka terjadilah riba bagaimanapun bentuk akadnya. Demikian pendapat Ibn al-Qayyim, pemuka mazhab Hanbali.
Mazhab Maliki membahas konsep motif ini dalam kerangka sadd al-zari’ah (tindakan preventif). Dalam kasus jual beli perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai khamar, dengan alasan sadd al-zari’ah, maka jual beli tersebut menjadi batal. Dengan kerangka berpikir seperti inilah mazhab ini mengharamkan jual beli bai’ al-‘inah yakni jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang melalui pinjaman dengan penangguhan waktu, dan ini adalah riba yang dilarang.
Sementara itu ahli hukum dengan latar belakang konsepsi hukum anglosakson mengkonsepsikan kausa dalam hukum Islam sebagai consideration (prestasi), yakni prestasi yang diberikan oleh lawan janji yang menjadi dasar pertimbangan bagi pemberi janji untuk melaksanakan janjinya. Prestasi ini harus disetujui oleh pemberi janji yang dapat dilihat dari kenyataan bahwa prestasi itu dikehendaki olehnya sebagai imbalan atas janji yang ia berikan. Sebaliknya penerima janji melakukan prestasi itu juga sebagai imbalan atas pelaksanaan janji pihak pertama. Susan E Reiner membahas consideration ini dengan menghubungkannya dengan harga dalam objek akad. Menurutnya, harga harus ada saat dibuatnya akad dan tidak dapat ditentukan kemudian berdasarkan harga pasar atau diserahkan penentuannya kepada pihak ketiga. Intinya akad harus mempunyai consideration, baik pembayaran dilakukan seketika di majelis akad, pada waktu sebelum diserahkan atau pada yang sudah ditentukan.
VI. Penutup
Pembaharuan dan modernisme mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak awal abad ke-20, karena sebagian negara-negara muslim mulai mendapatkan kadaulatan politiknya. Periode pasca kemerdekaan negara-negara Islam ditandai dengan beberapa situasi baru yang sebagian merupakan konsekwensi logis dari meodernisasi periode sebelumnya. Kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri sesungguhnya mengandung makna perubahan yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarat, khususnya dalam bidang tekonologi dan ekonomi.
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan tersebut dapat dilihat munculnya fenomena baru dalam perkembangan perekonomian, yang dilandasi oleh semangat kembali ke syariat. Kemunculan dan berdirinya lembaga perekonomian yang dilabeli syariat yang diikuti dengan usulan berbagai macam bentuk peraturan untuk merespon perkembangan tersebut, membuktikan pandangan di atas. Begitu juga kalau kita lihat dalam konteks negara muslim secara keseluruhan. Munculnya kesadaran dan tuntutan untuk melaksanakan aturan-aturan keperdataan Islam ke dalam Kode Sipil Arab adalah fenomena baru dalam perkembangan hukum negara-negara Arab.
Tidak menutup kemungkinan akan terjadi akselerasi perkembangan di bidang perekonomian syariah untuk masa yang akan datang, di mana fikih muamalah merupakan salah satu pilar yang paling pentingnya. Oleh karena itu, kemungkinan itu perlu dipersiapkan dengan mengembangkan teori-teori telah yang dikembangkan oleh para fuqaha klasik yang terserak-serak dalam berbagai kitab mereka. 

Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi

Tiada ulasan:

Catat Ulasan