Selasa, 30 April 2013

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 2
B. Rukun dan Syarat Akad Kedua: Pernyataan Kehendak
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad. Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama, adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis)
1. Persesuaian ijab dan qabul.
Pernyataan kabul disayaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak hal. Pernyataan jawaban yang tidak sesuai dengan ijab tidak dinamakan sebagai qabul. Penjual kitab menjual kitabnya dengan harga Rp 30.000, kemudian pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp 20.000, maka akad tidak terjadi dalam keadaaan ini. Begitu juga, keserasian qabul harus sesuai dalam berbagai sifat. Seperti ijab menjual sepetak kebun, lalu qabul menyatakan separohnya, maka akad tidak
terjadi, kecuali pihak yang lainnya menyetujuinya. Jika perselisihan qabul terhadap ijab tersebut justru menguntungkan pihak mujib, ketidakserasian ini tidak menjadi penghalang berlangsungnya akad, karena yang demikian itu tidak dinamakan perselisihan dalam akad akan tetapi penambahan dalam kesepakatan (qabul bi al-mubalaghah). Misalnya, jika pihak pembeli menyatakan ijab dengan harga Rp. 10.000, pihak penjual menyatakan qabul dengan harga Rp 9.000, atau pihak penjual menyatakan ijab dengan harga Rp.9.000 dan pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp. 10.000.
Sebagai salah satu azaz dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad. 
Dalam hukum perjanjian Islam, pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk:
a. Pernyataan kehendak secara lisan, di mana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan kehendak melalui ucapan itu harus jelas maksudnya dan tegas isinya. Ijab dan qabul dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga dilakukan dengan tidak berhadapan langsung, melalui telepon misalnya. Tentang permasalahan akad secara tidak berhadapan langsung ini, terdapat permasalahan di dalamnya, yakni penentuan kapan terjadinya akad jika dihubungkan dengan kesatuan majelis akadnya sebagai syarat ijab dan qabul. Hal ini akan dibahas pada bagian majelis akad.
b. Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.
c. Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil). Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli). Bila ijab disampaikan melalui tulisan/surat, dan penerima surat tersebut menyatakan penerimaannya terhadap penawaran tersebut, maka perjanjian dianggap sudah terjadi. Apabila penerima tulisan tersebut tidak menyatakan penerimaannya pada majelis tempat diterimanya surat tersebut, maka penawaran tidak terhapus, tapi tetap berlaku selama surat tersebut ada pada penerimanya. Ini beda dengan penawaran melalui utusan, apabila tidak dijawab oleh penerima penawaran di tempat disampaikannya penawaran tersebut, maka ijab menjadi hapus dan diperlukan ijab baru. 
d. Pernyataan Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang normal, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh orang yang cacat melalui isyarat dengan syarat jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kehendak untuk membuat perjanjian. Bila yang berakad adalah orang yang mampu untuk berakad secara lisan, maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia harus memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan, karena isyarat meskipun menunjukkan kehendak, ia tidak memberikan keyakinan jika dibandingkan dengan keyakinan yang dihasilkan dari akad secara lisan atau tulisan. Demikian pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Hanya saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan (ridha) para pihak.
e. Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah memahami perbuatan perjanjian tersebut dengan segala akibat hukumnya. Misalnya jual beli yang terjadi di supermarket misalnya, yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Fuqaha juga berbeda pandangan tentang jenis pernyataan ini. Kelom­pok Hanafiah menganggap sah akad secara ta’ati dalam setiap akad kebendaan, jika hal ini telah menjadi kebiasaan sebuah masyarakat,tetapi harga barang harus diberitahukan dengan jelas. Menurut Maliki­yah akad ta’ati ini harus disertai dengan indikasi yang sangat jelas yangn menunjukkan kerelaan masing-masing pihak, baik telah menjadi adat atau tidak. Sedang menurut Ssyafi’iyyah, akad tidak bisa dilaksanakan secara ta’ati
2. Kesatuan Majelis Akad
Sebelumnya telah dijelaskan berbagai cara untuk menyatakan kehendak, salah satunya adalah dengan tulisan, atau secara lisan dimana masing-masing pihak tidak berada dalam kesatuan majelis, melalui telepon misalnya. Sementara itu, para fuqaha menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus dilaksanakan dalam satu majelis akad.
Tempat dan waktu di mana kedua belah pihak berada pada saat negosiasi yang dimulai dari saat diajukannya ijab dan berlangsung selama mereka tetap fokus pada masalah perundingan perjanjian serta berakhir dengan berpalingnya mereka dari negosiasi tersebut, inilah yang disebut dengan majelis akad. Teori majelis akad ini secara umum dimaksudkan untuk menentukan kapan dan di mana akad terjadi dan secara khusus untuk menentukan kapan qabul dapat diberikan dan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak guna mempertimbangkan akad itu. Sebagai konsekwensi dari teori majelis akad ini adalah lahirnya khiyar qabul, khiyar penarikan (khiyar ar-ruju’) dan khiyar majelis (khiyar al-majelis). 
Kesatuan akad seharusnya tidak dipahami secara kaku dalam batasan dimensi ruang dan waktu. Sebaliknya konsep kesatuan majelis perlu dikembangkan sejalan dengan perkembangan dan kemajuan media bisnis. Dalam hal ini, kesatuan majelis menjadi tidak ada artinya jika para pihak secara fisik bersatu dalam majelis akad akan tetapi tidak terjadi kesesuaian gagasan bertransaksi, jika dibandingkan dengan transaski yang dilakukan dalam keadaan berjauhan akan tetapi kesatuan atau kesepakatan transaksi antara kedua pihak secara substantif telah tercapai.
Kesatuan majelis tidaklah dimaksudkan dengan kesatuan tempat dan waktu, karena hal ini akan sulit diterapkan dalam realitas kehidupan kontemporer, di mana transaksi bisa saja terjadi melalui alat komunikasi yang menempatkan para pihak tidak dalam kesatuan tempat. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan kesatuan majelis akad adalah kesatuan waktu, bukan kesatuan tempat secara fisik, di mana para pihak yang berakad masih fokus pada perjanjian yang dibuat. Ketika salah satu pihak sudah pindah
perhatian, maka majelis akad dianggap telah berakhir. Dengan demikian, maka akad dengan ijab melalui telepon atau alat komunikasi adalah majelis sejak dibuatnya ijab melalui telepon atau dikirimkannya surat sampai ada jawaban dari pihak lawan. Ijab dianggap berakhir ketika pembicaraan dialihkan kepada soal lain sebelum qabul dinyatakan.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menentukan kapan tercapainya kesepakatan dalam akad antara pihak yang berjauhan tempat. Kepastian hal ini adalah penting untuk menentukan kapan hak khiyar ruju’ bisa digunakan, penentuan kadaluarsa dan resiko. Untuk menjawab permasalahan ini, bisa digunakan 4 teori dalam hukum Barat mengenai kapan perjanjian dianggap lahir antara pihak yang berjauhan tempat, yaitu:
a. Teori pernyataan, lahirnya perjanjian di saat penerima menyatakan akseptasinya, dalam hal ini pernyataan tertulis. Alasannya adalah bahwa teori ini sesuai dengan asas umum bahwa perjanjian adalah pertemuan kehendak kedua belah pihak. Bila pihak yang mendapat penawaran telah menyatakan akseptasinya berati perjanjian telah lahir. Teori ini juga sesuai dengan karekater dunia perdagangan yang cepat dan praktis, di mana pihak yang mendapat penawaran dapat memenuhi kepentingannya seketika ia menyatakan penerimaannya. Kelemahan teori ini adalah tidak diketahui dengan pasti kapan akseptasi diberikan oleh pihak mitra janji sehingga sulit ditentukan kapan bisa digunakan hak khiyar ruju.
b. Teori pengiriman. Perjanjian lahir di saat pernyataan akseptasi final dibuat sehingga tidak dapat diulur-ulur lagi. Pernyataan final ini terwujud pada saat akseptor mengirimkan jawabannya kepada pembuat penawaran. Kelemahan teori ini tetap tidak diketahui dengan pasti oleh pihak yang memberikan penawaran kapan adanya penerimaan penawaran oleh pihak penerima penawaran. Belum lagi, surat atau kiriman bisa saja dikembalikan oleh kantor pos atau telegram, bahkan bisa terjadi kehilangan.
c. Teori penerimaan. Lahirnya perjanjian di saat orang yang membuat penawaran menerima jawaban akseptasi dari pihak yang menerima penawaran, baik pembuat penawaran telah mengetahui isi surat jawaban tersebut ataupun belum mengetahuinya karena belum membukanya. Di sini diandaikan bahwa dengan menerima surat itu ia dianggap ia telah mengetahui isinya. Teori ini memperbaiki teori pengiriman dengan menggeser waktu terjadinya perjanjian hingga saat pembuat penawaran menerima surat jawaban akseptor sekalipun ia belum tahu isinya, yang penting suratnya telah sampai.
d. Teori pengetahuan. Lahirnya perjanjian di saat pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi dari akseptor dengan cara membuka dan membaca isi surat yang dikirim oleh akseptor kepadanya. Teori ini tetap saja mempunyai kelemahan, yakni masih adanya kesempatan untuk mengulur-ulur waktu terjadinya perjanjian dengan cara sengaja tidak membuka surat jawaban akseptasi yang dikirim oleh akseptor. Di samping itu, sulit pula menentukan kapan sesungguhnya ia mengetahui isi surat itu dan yang tahu hal tersebut hanya orang bersangkutan. Kelemahan ini ditutup dengan memperluas arti mengetahui itu dengan persangkaan mengetahui, sehingga berdasarkan patokan ini, perjanjian lahir pada saat yang patut dipersangkakan bahwa pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi yang dikirim oleh akseptor. Jadi, pembuat penawaran tidak mesti mengetahui secara aktual terhadap jawaban akseptasi. As-Sanhuri sebagai arsitek sejumlah kitab undang-undang hukum perdata di negeri Arab, menganut teori pengetahuan yang disempurnakan ini.35 Menurutnya, karena penawaran dibuat oleh pembuatnya, maka kehendaknyalah yang harus dipertimbangkan dan menentukan kapan perjanjian itu lahir. Akseptasi dari pihak kedua tidak lain hanya menyetujui tawaran pembuat penawaran itu dan jika tidak sesuai berarti tidak terjadi perjanjian. Kalau kehendak pembuat penawaran tidak jelas, maka kehendak itu dipersangkakan kepadanya sesuai dengan kepentingan hukumnya, yang dapat dilihat dari diterimanya jawaban akseptasi dari akseptor oleh pembuat penawaran.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi


Tiada ulasan:

Catat Ulasan