Rabu, 16 Oktober 2013

Darah Daging


“Bu, bapak jalan dulu ya, ibu istirahat saja dirumah”

“Bapak hati – hati dijalan”

Ya kami adalah sepasang suami istri yang telah bersama selama 35 tahun.

Istriku marni kembali harus merasakan sakit dijantungnya setelah mendengar kabar anak kami Boni dituduh melakukan penipuan di Jakarta. Kami dianugerahi 2 orang anak dan Boni anak sulung sedangkan Bela anak kedua kami. Boni sejak kecil sangat patuh dengan kedua orang tuanya dan bertanggung jawab dengan adik satu satunya. Setelah dewasa dan mereka menemukan jodohnya masing masing di Jakarta maka aku dan Marni hanya berdua disini, ya didesa tempat kami terlahir.

Tak lama aku meninggalkan Marni sebentar untuk membeli makanan karena situasi seperti ini Marni tak mungkin memasakan makanan untuk ku. Aku beruntung sekali memiliki Marni menjadi istriku karena dia pandai memasak berkat ajaran ibunya.

“Bapak pulang”

Hening tak ada suara yang menjawab salam ku. Aku segera melihat Marni di kamar yang sedang tertidur lelap, aku menghampiri dan kupandang wajahnya yang cantik putih dan bersih, ya Marni memang memiliki kulit yang putih. Aku cium keningnya dan ku ucapkan

“Bu aku sangat menyayangimu”

Tersentak Marni terbangun dan dia hanya tersenyum menjawab perkataan ku.

“Apa sudah ada kabar dari mereka pak ?”

“Belom ada, istirahatlah dulu biar aku yang menjaga mu”

“Bagaimana aku bisa tenang disini sedangkan Boni anak kita tersangkut masalah dijakarta sana”

“Iya aku tau itu tp dokter menyuruhmu istirahat, badan mu membutuhkan itu”

Tak lama Marni memenjamkan mata dan aku segera beranjak dari kamar untuk pindah di ruang tv. Apakah anak itu akan muncul lagi di tv dengan ditemani aparat kepolisian ? mudah mudahan saja tidak dan ku berharap istriku tidak melihatnya dengan kondisi dia yang seperti ini.

Tak terasa aku sudah di depan tv semalaman suntuk untuk tetap menjaga Marni. Matahari menyapa ku dengan bunyi langkah orang yang mulai terbangun. Dan kulihat Marni masih tertidur dikamar dan aku pun mulai membuat kan sarapan untuknya. Ya yang aku bisa hanya membuat telor saja beda dengan Marni yang bisa membuat kan ku masakan apa saja dan melayani ku dengan baik.

“Bu bangun, aku siapkan sarapan untukmu dan minumlah obatnya”

Marni terbangun dan pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya ialah

“Maaf kan aku pak tidak bisa melayani mu dengan aku yang seperti ini”

“Tak apa, aku bisa membeli makanan diwarung makan bude yang penting kau lekas sembuh”

“Mereka sudah memberi kabar ?”

“Abiskan saja dulu sarapanmu masalah itu kita bicarakan nanti”

“Aku ingin selalu bersamamu, anak, mantu dan cucu kita”

Aku sungguh prihatin melihat kondisi Marni seperti ini.
Tak lama dia habiskan sarapan dan meminum obatnya lalu kusuruh kembali dia tidur. Akupun khawatir sekali dengan mereka. Ya, mereka adalah darah dagingku dengan Marni.

“Kring..kring” telfon berbunyi.

“Assalamualaikum pak, ini Bela”

“Walaikum salam, Bela ? apa kabar kamu ? gimana keadaanmu dan keluargamu disana ? apa sudah dapet kabar juga dari kakamu ?”


Aku senang akhirnya ada kabar dari salah satu anakku. Ingin segera ku mengelus rambutnya dan memeluknya. Segera ku kabari Marni yang sedang tertidur dikamar. 

Rabu, 9 Oktober 2013

Alam Asri

Dikala mentari membuka mata
Embun membasahi hijaunya daun dan cantiknya bunga
Disaat ku membuka kelopak mata
Udara sejuk disaat pagi menyapa 

Kulihat orang berlalu lalang
Dan ku mulai menapakan kaki ku diatas lunaknya tanah
Kulihat air mengalir derasnya pada sungai yang jernih rupawan
Gunung menjulang tinggi dan awan pun tak lupa menutupinya

Tuhan terima kasih
Engkau masih mengizinkan ku untuk menyapa semua anugerahmu
Betapa indah negeri ku ini
Jangan coba merusak mereka yang sudah tertata rapi 

Isnin, 6 Mei 2013

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN (THE POWER OF LAW FIDUCIARY AGREEMENT WITH THE DEED UNDER THE HAND)


Review 2

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Objek jaminan Fidusia Dengan Akta Di Bawah Tangan.
Eksekusi dapat dilakukan secara langsung ataupun berdasarkan putusan pengadilan. Kreditor dapat melakukan eksekusi secara langsung berdasarkan perjanjian yang ada Namun perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan tidak mempunyi kekuatan eksekutorial, sehingga tidak dapat
melakukan eksekusi secara langsung. Dari hasil wawancara (tanggal 10 juli 2010) dengan Kepala Bidang
Pelayanan Hukum pada Kantor MENHUM HAM Provinsi Sulawesi Tenggara Agustinus Tangkemanda menyatakan bahwa penerima jaminan fidusia yang aktanya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan yang melakukan eksekusi secara langsung tidak dibenarkan dan merupakan tindakan ilegal. Tindakan sepihak yang dilakukan oleh kreditor tersebut tentu tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam konstruksi hukum positif yaitu UUJF. Hasil penelitian penulis pada PT. Oto Multiartha Cabang Kendari, terbukti
bahwa PT. Oto Multiartha Cabang Kendari melakukan perjanjian pembiayaan konsumen yang memakai pengikatan secara fidusia dalam bentuk akta di bawah tangan, hal ini dilakukan dengan alasan
bahwa :
a.    Proses pembebanannya sederhana, murah dan cepat.
b.    Objek jaminannya adalah benda bergerak dan yang diserahkan kepada kreditor hanyalah hak kepemilikannya saja sedangkan barangnya secara fisik tetap dikuasai oleh debitor.
c.    Hal tersebut dilakukan atas kesepakatan para pihak. Efi Luthi Kamajaya (Branch Manager) PT Oto Multiarta Cabang Kendari (wawancara tanggal 20 juli 2010). Perjanjian yang dibuat oleh lembaga pembiayaan konsumen dengan debitornya tersebut dibuat dengan akta di bawah tangan dan bentuknya baku. Dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatur hakhak debitor maupun hak-hak kreditor. Walaupun dalam perjanjian akta di bawah tangan tersebut dimana kewajiban debitor tentu lebih banyak dan merupakan hak dari kreditor, hal ini dapat dilihat dari perjanjian yang dibuat oleh lembaga pembiayaan konsumen yaitu PT. Oto Multiarthadengan debitornya. Dalam perjanjiannya ada klausul yang mengatur bahwa:
1.      Kreditor berhak untuk menuntut pengembalian, menarik atau mengambil kembali, barang dari debitor dan / atau pihak lain atau langsung mengambil dari tempat dimana barang berada tanpa melalui suatu putusan atau penetapan pengadilan dan juga tanpa melalui juru sita pengadilan.
2.      Kreditor berhak untuk menjual barang tersebut kepada pihak manapun sesuai dengan harga yang dipandang baik, oleh kreditor. Sehubungan denga klausul tersebut, maka PT Otto Multiartha tidak perlu lagi mengajukan gugatan kepada debitornya melalui pengadilan negeri untuk dapat mengeksekusi barang jaminan barang jaminan karena hal tersebut diatur Pasal 12 ayat (3) dalam perjanjian penjaminannya.
Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ahmad Ali ( 1990: 85) bahwa:
Perjanjian kredit / perjanjian pembiayaan isinya mengatur mengenai hak dan kewajiban kreditor dan debitor. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang wajib ditaati. Kreditor mempunyai hak untuk memperoleh pelunasan piutangnya sedangkan debitor mempunyai kewajiban untuk membayar hutangnya. Antara hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang amat erat. Hak senantiasa mencerminkan kewajiban. Sebaliknya kewajiban juga mencerminkan hak. Kreditor memiliki hak tagih kepada debitor. Sedangkan debitor mempunyai kewajiban untuk membayar hutang kepada kreditor. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban ini disebut Vinculum Yuris.
Dalam perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fidusia dimana perjanjian tersebut berisikan lebih banyak menyangkut kewajiban dari pihak debitor dan sebaliknya merupakan hak dari kreditor, hal ini dapat dimaklumi karena mengingat akta tesebut bersifat baku dan dibuat oleh pihak kreditor dalam bentuk akta di bawah tangan. Salah satu ketentuan yang tertuang dalam akta di bawah tangan yang dibuat secara sepihak atau dalam bentuk baku yang dibuat oleh pihak kreditor bahwa apabila debitor tidak melunasi hutangnya atau menunda kewajibannya kepada kreditor, maka kreditor berhak atau diberi kuasa dengan hak subtitusi oleh debitor untuk mengambil dimanapun dan tempat siapapun objek jaminan itu berada, kemudian dijual dimuka umum atau secara di bawah tangan atau dengan perantaraan pihak lain dengan harga yang layak dan dengan syarat dan ketentuan yang dianggap baik oleh kreditor. Penarikan barang jaminan oleh kreditor, maka debitor secara sukarela melepaskan haknya untuk membayar jumlah angsuran yang telah lewat waktu dan kreditor secara mutlak berhak untuk melaksanakan penjualan atas objek jaminan tersebut.
Adapun hak debitor yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b dalam perjanjian adalah debitor berhak untuk mendapatkan sisa hasil penjualan setelah dilunasi semua jumlah hutang dan biaya lain yang merupakan kewajiban debitor. Namun hak tersebut menurut pengakuan responden tidak ada yang pernah
menerima sisa hasil penjualan yang dimaksud dalam pasal tersebut. Sedang hak-hak kreditor dan kewajiban kreditor yang diatur dalam Pasal 12
ayat (3) tersebut adalah:
a.       Menyatakan seluruh jumlah hutang yang belum dibayarkan menjadi jatuh tempo.
b.      Menuntut pengembalian, menarik atau mengambil kembali barang dari debitor.
c.       Berhak untuk menjual barang jaminan kepada pihak manapun sesuai dengan harga yang dipandang baik.
Kreditor berkewajiban membayarkan uang hasil penjualan pada semua biaya yang dikeluarkan selama penjualan dan pajak lainnya, mempergunakan sisa uang hasil penjualan itu untuk melunasi semua utang dan kewajiban debitor lainnya.
 eksekusi dapat dilaksanakan oleh kreditor dengan syarat apabila debitor cidera janji. Cidera janji bisa berupa debitor lalai melaksanakan kewajibannya, atau tidak memenuhi janji sesuai dengan yang diperjanjikan. Sebagaimana yang dilakukan oleh 15 (lima belas) nasabah debitornya yang cedera janji tersebut. Akibat dari cidera janji yang dilakukan oleh nasabah debitor tersebut dapat dikenakan sanksi yaitu barang yang menjadi objek jaminan akan dieksekusi oleh kreditor Bentuk-bentuk cidera janji (wanprestasi) dari pihak debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 11 perjanjian pembiayaan PT Oto Multiartha dengan nasabah debitor adalah:
a.       Debitor tidak membayar angsuran, denda dan / atau biaya-biaya lain atas suatu jumlah uang yang telah jatuh tempo sesuai perjanjian yang dalam hal lewatnya waktu saja telah memberi bukti yang cukup bahwa debitor telah melalaikan kewajibannya menurut perjanjian ini, sehingga peringatan dengan juru sita atau surat-surat lain serupa itu tidak diperlukan lagi.
b.      Barang dijual atau disewakan, dipindah tangankan, dialihkan, dijaminkan kepada pihak ketiga tanpa mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari kreditor.
c.       Apabila suatu pernyataan, surat keterangan atau dokumen-dokumen yang diberikan oleh pihak kedua (debitor) sehubungan dengan perjanjian ini ternyata tidak benar/palsu.
d.      Debitor dan atau pemilik jaminan tidak melaksanakan kewajibannya atau lalai untuk memenuhi syaratsyarat\ dan ketentuan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan Pasal 11 perjanjian tersebut umumnya yang tidak dilaksanakan oleh ke 15 (lima belas) nasabah tersebut adalah Pasal 11 huruf a yaitu debitor tidak membayar ansuran, denda dan atau biaya-biaya lain atas suatu jumlah uang yang telah jatu tempo.
Berdasarkan hasil penelitian dari ke15 nasabah tersebut terdapat beberapa alasan sehingga terjadi cidera janji adalah sebagai beriktu:
1.      Mobil yang merupakan alat untuk mencari nafkah yang dijadikan jaminan dalam keadaan rusak.
2.      Pemiliknya sakit dan membutuhkan biaya pengobatan.
3.      Biaya hidup naik Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh PT Oto Multiartha apabila terjadi cidera janji yaitu sebelum eksekusi dilakukan, harus melalu tahapan yaitu melakukan musyawarah mufakat dan melalui pengadilan. Namun yang terjadi adalah apabila tidak ada kata sepakat, maka pihak kreditor berusaha melakukan pendekatan secara kekeluargaan (persuasif) terhadap nasabah debitor. Pendekatan ini dilakukan agar sedapat mungkin diperoleh penyelesaian kredit macet secara damai tanpa melalui pengadilan. Dalam hal kreditor melakukan pendekatan persuasif dengan cara diberikan perpanjangan waktu pembiayaan kepada debitor. Apabila upaya yang telah dilakukan tersebut belum juga memperoleh kesepakatan, maka PT.Oto Multiartha, melakukan tindakan yaitu menarik barang jaminannya secara paksa. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah barang ditarik pihak debitor tidak juga melunasi utangnya, maka tindakan selanjutnya yaitu menjual barang jaminan tersebut secara umum atau dapat juga dilakukan dengan cara dijual di bawah tangan atau dengan memilih cara yang menguntungkan kedua belah pihak. atau tanpa melalui putusan pengadilan.

B. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan
1.      Kendala internal yaitu penarikan barang jaminan. Penarikan barang jaminan tidaklan mudah
karena tidak semua debitor mau menyerahkan barang jaminannya secara sukarela. Sehingga debitor memerlukan pendekatan secara kekeluargaan agar pelasanaan eksekusi dapat dilakukan secara damai tanpa melalui pengadilan. Apabila hal tersebut tidak berhasil, maka kreditor melakukan tindakan yaitu menarik barang jaminan secara paksa melalui debt collector. Debt collector ini biasanya berasal dari perusahaan –pembiayaan sendiri dan atau menyewa pihak lain sepeerti pihak kepolisian. Alasannya bahwa susahnya mengeksekusi barang jaminan menjadi factor utama pengadaan debt collector.
2.      Kendala Eksternal yaitu adanya campurctangan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud adalah pihak lain yang tidak ada keterkaitan dengan perjanjian. Nasabah debitor dapat melakukan perlawanan dengan menyewa pihak ketiga untuk membatalkan pelaksanaan eksekusi. Dalam mengatasi hal tersebut secara hukum dapat menempuh proses hukum secara formal yaitu mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan secara perdatadan menunggu sampai adanya putusan pengadilan.

KESIMPULAN

1.      Perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, namun mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Di dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut, para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjiannya dengan tidak melibatkan pengadilan, sehingga apabila terjadi cidera janji, maka kreditor dapat melakukan eksekusi secara langsung tanpa melalui putusan pengadilan.
2.      Penarikan barang jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan tidaklah mudah, karena tidak semua debitor menyerahkan barang jaminan dengan sukarela sehingga dibutuhkan pendekatan secara kekeluargaan agar pihak debitor dapat menyerahkan barang jaminan tersebut tanpa merasa ada paksaan.
.
B Saran

1.      Untuk mewujudkan kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia, diharapkan pada pemerintah kiranya dapat melakukan langkahlangkah yang lebih efektif terhadap pelaksanaan undangundang jaminan fidusia kepada masyarakat. Sehingga pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia dapat dilakukan sesuai dengan mekamisme yang ditetapkan dalam undang- undang jaminan fidusia dalam rangka memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi para pihak yang melakukan perjanjian.
2.      Sebaiknya penyelesian masalah dalam perjanjian yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan konsumen diprioritaskan secara damai melalui musyawarah mufakat, namun apabila tidak memperoleh kata mufakat sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum.

Selasa, 30 April 2013

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN (THE POWER OF LAW FIDUCIARY AGREEMENT WITH THE DEED UNDER THE HAND)


Review 1 

         ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pelaksanaan eksekusi terhadap objek perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan, dan kendala-kendala yang dihadapai dalam pelaksanaan eksekusi terhadap objek perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan tersebut dan cara mengatasinya. Penelitian dilakukan pada perusahaan pembiayan konsumen yaitu PT Oto Multiartha Cabang Kendari, Pengadilan Negeri Kendari, Kantor Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan, sebelum jaminan dieksekusi harus melewati beberapa tahapan,yaitu musyawarah mufakat dan jalur pengadilan.
 Namun, yang terjadi pihak kreditor tidak melalui jalur pengadilan, tetapi mengeksekusi langsung dengan meminta bantuan debt collector. Lemahnya kekuatan eksekusi membuat kreditor menempuh jalan yang tidak sesuai dengan hokum. Kendala dalam pelaksanaan eksekusi tersebut meliputi factor internal, yaitu Namun apabila hal tersebut tidak berhasil juga maka PT Oto Multiartha melakukan tindakan yaitu menarik barang jaminan tersebut dengan kekuatan sendiri tanpa melaui putusan pengadilan. Hal ini telah diatur dalam perjanjian penjaminannya. yaitu internal, yaitu penarikan barang jaminan oleh kreditor, pelaksanaannya sulit karena debitor tidak mau menyerahkan barang jaminannya dengan sukarela, sementara faktor eksternal dimana pihak debitor mengadakan perlawanan terhadap tindakan sepihak oleh kreditor. Cara mengatasinya yaitu pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mengajukan gugatan kepengadilan dan menunggu sampai adanya putusan pengadilan. Kata Kunci : Akta di bawah tangan dan Eksekusi.

PENDAHULUAN

Dalam penjelasan umum Undang- Undang Nomoe 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan FIdusia selanjutnya disebut UUJF, bahwa dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, maka para pelaku pembangunan baik dari pemerintah maupun masyarakat, baik perorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang besar. Sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut disalurkan dan diperoleh melalui lembaga perbankan dan lembaga kekuangan non bank dengan cara pinjam meminjam dalam bentuk kredit. Untuk mencapai pembangunan
dibidang ekonomi sebagaimana tersebut, disamping peran pemerintah peran swasta senantiasa turut membantu. Salah satu peran swasta dalam bidang ekonomi yani dengan melalui lembaga pembiayaan konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen dalam melakukan kegiatan berupa pemberian kredit atau pinjaman kepada setiap kegiatan usaha maupun perorangan harus melakukan tindakan pengamanan yaitu berupa jaminan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Salah satu bentuk lembaga hak jaminan yang banyak digunaka dewasa ini adalah hak jaminan fidusia yang diatur dalam UUJF. Namun sampai saat ini masi terjadi pada lembaga pembiayaan konsumen dalam melakukan perjanjian fidusia belum melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam UUJF tersebut.
Lembaga pembiayaan konsumentersebut dalam melakukan perjanjian penjaminan benda bergerak yang memenuhi perinsip fidusia, akan tetapi tidak memenuhi standar yuridis untuk disebut sebagai jaminan fidusia, karena di dalam Pasal 37 ayat (3) mengatur jika dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian jaminan fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Ini berarti bahwa apabila bentuk perjanjian tidak sesuai dengan UUJF, maka perjanjian jaminan tersebut bukan merupakan jaminan atas benda bergerak. Akan tetapi yang terjadi pada lembaga pembiayaan konsumen dalam melakukan perjanjian mencantumkan katakata dijaminkan secara fidusia, namun perjanjiannya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan sebagaimana yang dilakukan oleh PT Olympindo Multi Finance dalam melakukan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Di dalam perjanjiannya secara tegas diatur bahwa kedua belah pihak setuju untuk membuat perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Selanjutnya terdapat klausul yang menyatakan bahwa apabila pihak kedua tidak melunasi pinjamannya, atau tidak memenuhi kewajibannya kepada atau terhadap pihak pertama, pihak kedua berkewajiban dan dengan kesadaran sendiri untuk dapat menyerahkan kembali kendaraan yang dipinjam atau dipakai oleh pihak kedua tanpa menunggu tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh pihak pertama dengan atau tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu, pihak pertama berhak dan dengan ini diberi kuasa dengan hak subtitusi oleh pihak kedua untuk mengambil, menarik dan menguasai kembali secara langsung barang yang pinjam pakai oleh pihak kedua. menjalankan dan menjual di muka umum atau secara di bawah tangan dan atau perantaraan pihak lain dengan harga pasar yang layak.
Berdasakan klausul-klausul tersebut, maka PT Olympindo berhak untuk melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan sebagaimana yang selama ini dilakukan terhadap debitornya yang cidera janji. Sedangkan menurut UUJF bahwa yang dapat melakukan eksekusi secara langsung hanyalah bentuk perjanjian yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut penulis bahwa ada kecenderungan pihak kreditor melakukan tindakan sepihak kepada debitor yang cidera janji khususnya dalam melaksanakan eksekusi.

METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yang digunakan untuk menganalisa pelaksanaan eksekusi terhadap objek perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan, yang dikaitkan dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan atas masalah yang diteliti.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kendari dengan sasaran pada perusahaan lembaga pembiayaan. Konsumen Hal ini dipilih dengan pertimbangan bahwa masih adanya lembaga pembiayaan konsumen yang membuat perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan yang melakukan eksekusi secara langsung tanpa putusan pengadilan/ grosse akta.

C. Populasi dan sampel
a. Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan pembiayaan konsumen yang ada Kota Kendari.   Sampel dalam penelitian ini adalah PT Oto Multiartha Cabang Kendari dengan responden sebagai berikut:
a. Branch Manager PT Oto Multiartha 1 (satu) orang dan bagian pengarsipan 1(satu) orang.
b. Hakim Pengadilan Negeri Kendari sebanyak 1 (satu) orang.
c. Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara (Kepala Bidang Pelayanan Hukum 1(satu) orang.
d. Dealer 1 0rang.
e. Nasabah debitor pada PT Oto Multiartha sebanyak 15 (lima belas ) orang.

D. Jenis dan Sumber Data.
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang hasil penelitian adalah :
1.      Data Primer .
Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari sumbernya, melalui wawancara dengan sumber informasi terpilih. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari responden melalui wawancara yaitu dengan nasabah dari lembaga pembiayaan konsumen tempat penelitian dilaksanakan.
2.      Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui dokumen-dokumen atau catatan tertulis. Data sekunder dalam penelitian ini terbagi atas :
a. Data hukum primer merupakan bahan hukum yang paling utama digunakan sebagai dasar dalam penyusunan tesis ini yaitu Undanh-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum berupa literaturliteratur yang berkaitan langsung dengan masalah yang akan diteliti.

E. Teknik Pengumpulan Data.
1. Wawancara dan Kuesioner
a) Wawancara dilakukan terhadap informan yang telah ditentukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam tentang pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Dengan informan dari pihak yang berkompeten pada perusahaan pembiayaan, yaitu dengan pimpinan pada perusahaan yang menjadi objek penelitian.

Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi









Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 4 
D. Rukun dan Syarat Akad Keempat: Tujuan Akad
Tujuan akad ini merupakan rukun tambahan, di mana sebelumnya rukun akad disebutkan hanya tiga yaitu para pihak, sighat dan objek akad. Oleh ahli hukum Islam moderen menambahkan satu lagi yaitu. tujuan akad. Dalam akad, kita mengenal adanya hukum akad yakni akibat hukum yang timbul dari akad, yang dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu hukum pokok akad dan hukum tambahan akad. Hukum pokok akad adalah akibat hukum yang pokok yang menjadi maksud dan tujuan bersama yang hendak direalisasikan oleh para pihak melalui akad. Hukum pokok akad inilah yang dimaksudkan dengan tujuan akad yang menjadi rukun keempat.48 Misalnya tujuan pokok akad jual beli adalah memindahkan hak milik atas barang dengan sejumlah imbalan. Sedangkan hukum tambahan akad adalah hak dan kewajiban yang timbul dari akad, misalnya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
Beberapa pengkaji hukum moderen melihat konsep tujuan akad ini sebagai kausa yang menjadi dasar keabsahan dan pembatalan perjanjian. Teori kausa sendiri merupakan konsep yang berkembang dalam hukum Barat. Dengan demikian, mereka mencoba berbicara teori kausa dalam hukum perjanjian Islam dalam kerangka hukum barat. Tidak ada kesepakatan tentang teori kausa ini dalam hukum perjanjian Islam apakah ia sama dengan motif atau ia merupakan consideration (prestasi), sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam hukum Barat sendiri. Ada juga yang menganggapnya sebagai tujuan bersama para pihak
Abdur Razaq as-Sanhuri merupakan sarjana hukum Islam moderen yang menganggap kausa adalah motif. Walaupun hukum Islam tidak merumuskan ajaran kausa ini secara khusus, namun dari berbagai detail perjanjian khusus, ajaran kausa ini dapat dirumuskan. Menurutnya, dengan mengkaji aneka perjanjian khusus tersebut, terlihat hukum Islam berada di antara dua kutub semangat yang berlawanan. Pertama, hukum Islam yang bercirikan semangat objektivisme, yang lebih mementingkan dan memberikan perhatian lebih terhadap ungkapan kehendak daripada kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran kausa sulit untuk mendapat tempat dan tidak berkembang. Kedua, hukum Islam yang dicirikan oleh semangat dan prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari agama itu sendiri. Di sinilah ajaran kausa mendapat tempat yang luas, di mana ia digunakan untuk mengukur kesucian hati dan niat seseorang dalam melakukan perjanjian.
Jika perbedaan orientasi di atas dikaitkan dengan mazhab hukum dalam Islam, maka mazhab Hanafi dan Syafi’i masuk ke dalam kategori mazhab yang dikuasai oleh semangat objektivisme. Dalam kedua mazhab ini, motif pembentukan akad tidak dipertimbangkan kecuali kalau disebutkan dalam akad. Motif hanya bisa masuk dalam wilayah yang sangat sempit melalui formula akad dan ungkapan kehendak, kalau motif tidak disebutkan dalam pernyataan kehendak, maka motif tidak diperhitungkan. Ketika motif telah disebutkan dalam perjanjian, maka sah atau tidaknya perjanjian tersebut tergantung pada sah atau tidaknya kausa tersebut. Jika seseorang menyewa mobil untuk membunuh orang maka akad sewa tersebut tidak sah karena kausanya adalah suatu yang terlarang, yakni membunuh. Sebaliknya kalau seseorang berniat menikahi orang lain dengan niat untuk diceraikan setelah 2 hari pernikahan, maka pernikahan tersebut dipandang sah selama tidakdiungkapkan dalam formula akad. demikian pendapat Syafi’i
Kausa dapat pula disimpulkan secara diam-diam dengan melihat sifat dan hakikat objek akad. Jual beli alat musik misalnya, bisa menjadi tidak sah karena sifat dan hakikat dari objek jual beli terkandung sifat hura-hura yang bisa menjauhkan orang dari mengingat Allah. Demikian pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, murid dari Abu Hanifah. Namun menurut Abu Hanifah sendiri membolehkan akad tersebut karena alat-alat musik itu bisa saja digunakan untuk keperluan lain tidak mesti untuk hura-hura, meskipun sifat hura-hura terkandung dalam sifat objek akad.
Mazhab Maliki dan Hanbali adalah mazhab yang dapat dikategorikan sebagai mazhab yang didominasi oleh konsep etis dan moral sehingga memberi tempat yang sangat luas bagi motif tanpa mempertimbangkan apakah motif tersebut terkandung atau tidak di dalam pernyataan kehendak (ungkapan akad) selama motif tersebut diketahui oleh pihak lawan. Perjanjian menjadi batal atau tidak tergantung pada apakah motif itu sah atau tidak. Hal ini dapat dilihat dalam kasus jual beli senjata kepada orang yang diketahuinya bermaksud menggunakannya untuk membunuh orang, maka jual beli tersebut batal. Sebaliknya, bila ia menjualnya kepada prang yang diketahuinya untuk berjihad fi sabilillah, maka jual beli itu sah. Demikian juga yang yang melakukan riba dengan akad jual beli yang dilakukannya, maka terjadilah riba bagaimanapun bentuk akadnya. Demikian pendapat Ibn al-Qayyim, pemuka mazhab Hanbali.
Mazhab Maliki membahas konsep motif ini dalam kerangka sadd al-zari’ah (tindakan preventif). Dalam kasus jual beli perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai khamar, dengan alasan sadd al-zari’ah, maka jual beli tersebut menjadi batal. Dengan kerangka berpikir seperti inilah mazhab ini mengharamkan jual beli bai’ al-‘inah yakni jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang melalui pinjaman dengan penangguhan waktu, dan ini adalah riba yang dilarang.
Sementara itu ahli hukum dengan latar belakang konsepsi hukum anglosakson mengkonsepsikan kausa dalam hukum Islam sebagai consideration (prestasi), yakni prestasi yang diberikan oleh lawan janji yang menjadi dasar pertimbangan bagi pemberi janji untuk melaksanakan janjinya. Prestasi ini harus disetujui oleh pemberi janji yang dapat dilihat dari kenyataan bahwa prestasi itu dikehendaki olehnya sebagai imbalan atas janji yang ia berikan. Sebaliknya penerima janji melakukan prestasi itu juga sebagai imbalan atas pelaksanaan janji pihak pertama. Susan E Reiner membahas consideration ini dengan menghubungkannya dengan harga dalam objek akad. Menurutnya, harga harus ada saat dibuatnya akad dan tidak dapat ditentukan kemudian berdasarkan harga pasar atau diserahkan penentuannya kepada pihak ketiga. Intinya akad harus mempunyai consideration, baik pembayaran dilakukan seketika di majelis akad, pada waktu sebelum diserahkan atau pada yang sudah ditentukan.
VI. Penutup
Pembaharuan dan modernisme mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak awal abad ke-20, karena sebagian negara-negara muslim mulai mendapatkan kadaulatan politiknya. Periode pasca kemerdekaan negara-negara Islam ditandai dengan beberapa situasi baru yang sebagian merupakan konsekwensi logis dari meodernisasi periode sebelumnya. Kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri sesungguhnya mengandung makna perubahan yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarat, khususnya dalam bidang tekonologi dan ekonomi.
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan tersebut dapat dilihat munculnya fenomena baru dalam perkembangan perekonomian, yang dilandasi oleh semangat kembali ke syariat. Kemunculan dan berdirinya lembaga perekonomian yang dilabeli syariat yang diikuti dengan usulan berbagai macam bentuk peraturan untuk merespon perkembangan tersebut, membuktikan pandangan di atas. Begitu juga kalau kita lihat dalam konteks negara muslim secara keseluruhan. Munculnya kesadaran dan tuntutan untuk melaksanakan aturan-aturan keperdataan Islam ke dalam Kode Sipil Arab adalah fenomena baru dalam perkembangan hukum negara-negara Arab.
Tidak menutup kemungkinan akan terjadi akselerasi perkembangan di bidang perekonomian syariah untuk masa yang akan datang, di mana fikih muamalah merupakan salah satu pilar yang paling pentingnya. Oleh karena itu, kemungkinan itu perlu dipersiapkan dengan mengembangkan teori-teori telah yang dikembangkan oleh para fuqaha klasik yang terserak-serak dalam berbagai kitab mereka. 

Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 3
C. Rukun dan Syarat Akad Ketiga: Objek Akad
Rukun ketiga dari akad ini adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Tidak semua benda dapat dijadikan objek akad. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. Objek akad harus sudah ada ketika berlangsung akad. Barang yang belum ada tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum terwujud. Di kalangan para fuqaha, syarat ini masih terjadi selang sengketa tentang keabsahannya. Imam Malik misalnya memandang sah akad yang sifatnya melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’) terhadap benda-benda yang mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu akad masih belum eksis, seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya. Ibn Taimiyyah, pengikut mazhab Hanbali, juga memandang sah akad yang objeknya belum ada dalam berbagai bentuknya, selagi dapat dipastikan tidak akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Masalahnya dalam akad yang seperti ini bukan ada atau belum adanya objek akad, akan tetapi apakah akan mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Dengan kata lain, unsur gharar-nya dipastikan tidak ada. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang syarat ini, secara umum adanya persyaratan bahwa objek harus telah eksis pada waktu akad terjadi, memang diperlukan bagi akad-akad yang memerlukan kepastian. Misalnya, jual beli binatang dalam kandungan tidak boleh dilakukan sebab ada kemungkinan bahwa objek akad yang belum ada tersebut, ada kemungkinannya dalam keadaan mati Dalam hal akad tidak memerlukan kepastian seketika, dan berdasarkan atas pengalaman yang telah menjadi adat kebiasaan yang diterima umum, bahwa kepastian di masa mendatang akan diperoleh, maka syarat adanya objek akad pada waktu akad diadakan, bisa diperlunak. Objek akad cukup diperkirakan akan ada di masa mendatang, seperti dalam hal akad bagi hasil, pesan membuat barang dan lain sebagainya.Lebih tegas lagi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan pendapatnya tentang maksud gharar tersebut dengan membedakan antara ‘barang yang tidak eksis’ dengan ‘ketidakpastian’ yang menimbulkan keraguan eksisnya benda tersebut di masa akan datang. Ia menekankan bahwa yang dilarang syariat bukanlah karena tidak atau belum eksis akan tetapi unsur ketidakpastiannya. Dengan demikian, objek akad yang tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah. Dalam konteks legislasi moderen, pembahasan tentang unsur gharar atau spekulasi lebih banyak mengartikan gharar tersebut dengan unsur ketidakpastiannya, bukan eksistensi barangnya, dan ini sangat berbeda dengan pembahasan fuqaha klasik yang pada umumnya tidak membolehkan transaksi atas barang yang tidak ada pada waktu penutupan akad, meskipun sebagian mereka mengecualikan akad salam, istisna dan sewa menyewa. Hal ini dapat dilihat dalam sejumlah Kode Sipil sejumlah Negara di wilayah Timur tengah, seperti Mesir, Irak, Qatar, Jordania dan Kuwait.
2. Objek akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad yang tidak dapat menerima hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karenanya keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Akad jual beli, tidak dapat dilakukan terhadap benda mubah yang belum menjadi milik seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi milik semua orang untuk menikmatinya. Begitu juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memneuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan dan sungai. 
3. Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui.
    Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari, sehingga tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan agar para pihak dalam melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama. Ketidakjelasan tidak mesti berkaitan dengan semua satuan barang yang akan menajdi objek akad, tetapi cukup sebagian saja, apabila barang tersebut merupakan suatu jenis yang dapat diketahui conntohnya atau keterangan yang jelas tentang sifat-sifatnya. Untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (‘urf) mempunyai peranan penting. Apabila ‘urf memandang jelas, misalnya jual beli kacang tanah yang sudah waktunya dipanen, tetapi masih berada dalam tanah, maka kacang yang ada dalam tanah tersebut dipandang sudah memenuhi syarat kejelasan. Yang penting jangan sampai mengenyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat; penjual jangan menerima harga yang jauh di bawah harga yang wajar dan dapat dijamin tidak akan terjadi sengketa di belakang hari.
   Objek akad itu harus tertentu maksudnya adalah diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan yang bersifat sedikit yang tidak membawa pada persengketaan tidak membatalkan akad. Ahli hukum Hanfi menjadikan adat kebiasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya suatu ketidakjelasan.
   Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya syarat ini harus dipenuhi dalam akad mu’awadah maliyah. Adapun dalam akad lainnya, mereka berbeda pandangan. fuqaha Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat ini harus terpenuhi pada akad mu’awadah ghairu maliyah seperti akad nikah misalnya. Demikian juga halnya Hanafiyah, hanya saja mereka tidak mensyaratkan pada akad tabarru’. Sedangkan Imam Malik tidak mensyaratkan pada selain akad mu’awadah al-maliyah.
   Apabila objek akad berupa perbuatan, maka objek tersebut juga harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak. Dalam akad melakukan sutu pekerjaan, pekerjaan tersebut harus dijelaskan sedemkian rupa sehingga meniadakan ketidakjelasan yang mencolok.
4. Objek akad dapat ditransaksikan.
   Hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada waktu akad yang telah ditentukan, objek akad dapat diserahkan, karena memang benar-benar berada di bawah kekuasan yang sah pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, ikan di laut, burung di udara, binatang yang masih berkeliaran di hutan tidak memnuhi syarat untuk menjadi objek akad. Untuk dapat diserahkan, maka objek akad tersebut harus memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Tujuan objek akad tidak bertentangan dengan transaksi. Dengan kata lain, sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila transaksi bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Misalnya wakaf, karena barangnya ini sudah dilembagakan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan agama atau umum, maka milik individu atas benda tersebut sudah berubah menjadi milik umum (milik Allah). Aturannya benda wakaf dilarang untuk dijual. Akan tetapi aturan umum ini dapat disimpangkan dengan adanya alasan syar’i. misalnya, gedung sekolah yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi pendidikan seperti yang disebutkan dalam ikrar wakaf, maka benda tersebut boleh dijual dan diganti di tempat lain. Begitu juga dengan objek akad perbuatan. Pengerjaan sholat dan menjalani hukuman tidak bisa digantikan oleh orang lain. 
b. Sifat objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan dengan aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
c. Objek akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak sah akad terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syarak.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 2
B. Rukun dan Syarat Akad Kedua: Pernyataan Kehendak
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad. Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama, adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis)
1. Persesuaian ijab dan qabul.
Pernyataan kabul disayaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak hal. Pernyataan jawaban yang tidak sesuai dengan ijab tidak dinamakan sebagai qabul. Penjual kitab menjual kitabnya dengan harga Rp 30.000, kemudian pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp 20.000, maka akad tidak terjadi dalam keadaaan ini. Begitu juga, keserasian qabul harus sesuai dalam berbagai sifat. Seperti ijab menjual sepetak kebun, lalu qabul menyatakan separohnya, maka akad tidak
terjadi, kecuali pihak yang lainnya menyetujuinya. Jika perselisihan qabul terhadap ijab tersebut justru menguntungkan pihak mujib, ketidakserasian ini tidak menjadi penghalang berlangsungnya akad, karena yang demikian itu tidak dinamakan perselisihan dalam akad akan tetapi penambahan dalam kesepakatan (qabul bi al-mubalaghah). Misalnya, jika pihak pembeli menyatakan ijab dengan harga Rp. 10.000, pihak penjual menyatakan qabul dengan harga Rp 9.000, atau pihak penjual menyatakan ijab dengan harga Rp.9.000 dan pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp. 10.000.
Sebagai salah satu azaz dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad. 
Dalam hukum perjanjian Islam, pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk:
a. Pernyataan kehendak secara lisan, di mana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan kehendak melalui ucapan itu harus jelas maksudnya dan tegas isinya. Ijab dan qabul dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga dilakukan dengan tidak berhadapan langsung, melalui telepon misalnya. Tentang permasalahan akad secara tidak berhadapan langsung ini, terdapat permasalahan di dalamnya, yakni penentuan kapan terjadinya akad jika dihubungkan dengan kesatuan majelis akadnya sebagai syarat ijab dan qabul. Hal ini akan dibahas pada bagian majelis akad.
b. Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.
c. Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil). Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli). Bila ijab disampaikan melalui tulisan/surat, dan penerima surat tersebut menyatakan penerimaannya terhadap penawaran tersebut, maka perjanjian dianggap sudah terjadi. Apabila penerima tulisan tersebut tidak menyatakan penerimaannya pada majelis tempat diterimanya surat tersebut, maka penawaran tidak terhapus, tapi tetap berlaku selama surat tersebut ada pada penerimanya. Ini beda dengan penawaran melalui utusan, apabila tidak dijawab oleh penerima penawaran di tempat disampaikannya penawaran tersebut, maka ijab menjadi hapus dan diperlukan ijab baru. 
d. Pernyataan Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang normal, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh orang yang cacat melalui isyarat dengan syarat jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kehendak untuk membuat perjanjian. Bila yang berakad adalah orang yang mampu untuk berakad secara lisan, maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia harus memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan, karena isyarat meskipun menunjukkan kehendak, ia tidak memberikan keyakinan jika dibandingkan dengan keyakinan yang dihasilkan dari akad secara lisan atau tulisan. Demikian pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Hanya saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan (ridha) para pihak.
e. Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah memahami perbuatan perjanjian tersebut dengan segala akibat hukumnya. Misalnya jual beli yang terjadi di supermarket misalnya, yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Fuqaha juga berbeda pandangan tentang jenis pernyataan ini. Kelom­pok Hanafiah menganggap sah akad secara ta’ati dalam setiap akad kebendaan, jika hal ini telah menjadi kebiasaan sebuah masyarakat,tetapi harga barang harus diberitahukan dengan jelas. Menurut Maliki­yah akad ta’ati ini harus disertai dengan indikasi yang sangat jelas yangn menunjukkan kerelaan masing-masing pihak, baik telah menjadi adat atau tidak. Sedang menurut Ssyafi’iyyah, akad tidak bisa dilaksanakan secara ta’ati
2. Kesatuan Majelis Akad
Sebelumnya telah dijelaskan berbagai cara untuk menyatakan kehendak, salah satunya adalah dengan tulisan, atau secara lisan dimana masing-masing pihak tidak berada dalam kesatuan majelis, melalui telepon misalnya. Sementara itu, para fuqaha menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus dilaksanakan dalam satu majelis akad.
Tempat dan waktu di mana kedua belah pihak berada pada saat negosiasi yang dimulai dari saat diajukannya ijab dan berlangsung selama mereka tetap fokus pada masalah perundingan perjanjian serta berakhir dengan berpalingnya mereka dari negosiasi tersebut, inilah yang disebut dengan majelis akad. Teori majelis akad ini secara umum dimaksudkan untuk menentukan kapan dan di mana akad terjadi dan secara khusus untuk menentukan kapan qabul dapat diberikan dan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak guna mempertimbangkan akad itu. Sebagai konsekwensi dari teori majelis akad ini adalah lahirnya khiyar qabul, khiyar penarikan (khiyar ar-ruju’) dan khiyar majelis (khiyar al-majelis). 
Kesatuan akad seharusnya tidak dipahami secara kaku dalam batasan dimensi ruang dan waktu. Sebaliknya konsep kesatuan majelis perlu dikembangkan sejalan dengan perkembangan dan kemajuan media bisnis. Dalam hal ini, kesatuan majelis menjadi tidak ada artinya jika para pihak secara fisik bersatu dalam majelis akad akan tetapi tidak terjadi kesesuaian gagasan bertransaksi, jika dibandingkan dengan transaski yang dilakukan dalam keadaan berjauhan akan tetapi kesatuan atau kesepakatan transaksi antara kedua pihak secara substantif telah tercapai.
Kesatuan majelis tidaklah dimaksudkan dengan kesatuan tempat dan waktu, karena hal ini akan sulit diterapkan dalam realitas kehidupan kontemporer, di mana transaksi bisa saja terjadi melalui alat komunikasi yang menempatkan para pihak tidak dalam kesatuan tempat. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan kesatuan majelis akad adalah kesatuan waktu, bukan kesatuan tempat secara fisik, di mana para pihak yang berakad masih fokus pada perjanjian yang dibuat. Ketika salah satu pihak sudah pindah
perhatian, maka majelis akad dianggap telah berakhir. Dengan demikian, maka akad dengan ijab melalui telepon atau alat komunikasi adalah majelis sejak dibuatnya ijab melalui telepon atau dikirimkannya surat sampai ada jawaban dari pihak lawan. Ijab dianggap berakhir ketika pembicaraan dialihkan kepada soal lain sebelum qabul dinyatakan.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menentukan kapan tercapainya kesepakatan dalam akad antara pihak yang berjauhan tempat. Kepastian hal ini adalah penting untuk menentukan kapan hak khiyar ruju’ bisa digunakan, penentuan kadaluarsa dan resiko. Untuk menjawab permasalahan ini, bisa digunakan 4 teori dalam hukum Barat mengenai kapan perjanjian dianggap lahir antara pihak yang berjauhan tempat, yaitu:
a. Teori pernyataan, lahirnya perjanjian di saat penerima menyatakan akseptasinya, dalam hal ini pernyataan tertulis. Alasannya adalah bahwa teori ini sesuai dengan asas umum bahwa perjanjian adalah pertemuan kehendak kedua belah pihak. Bila pihak yang mendapat penawaran telah menyatakan akseptasinya berati perjanjian telah lahir. Teori ini juga sesuai dengan karekater dunia perdagangan yang cepat dan praktis, di mana pihak yang mendapat penawaran dapat memenuhi kepentingannya seketika ia menyatakan penerimaannya. Kelemahan teori ini adalah tidak diketahui dengan pasti kapan akseptasi diberikan oleh pihak mitra janji sehingga sulit ditentukan kapan bisa digunakan hak khiyar ruju.
b. Teori pengiriman. Perjanjian lahir di saat pernyataan akseptasi final dibuat sehingga tidak dapat diulur-ulur lagi. Pernyataan final ini terwujud pada saat akseptor mengirimkan jawabannya kepada pembuat penawaran. Kelemahan teori ini tetap tidak diketahui dengan pasti oleh pihak yang memberikan penawaran kapan adanya penerimaan penawaran oleh pihak penerima penawaran. Belum lagi, surat atau kiriman bisa saja dikembalikan oleh kantor pos atau telegram, bahkan bisa terjadi kehilangan.
c. Teori penerimaan. Lahirnya perjanjian di saat orang yang membuat penawaran menerima jawaban akseptasi dari pihak yang menerima penawaran, baik pembuat penawaran telah mengetahui isi surat jawaban tersebut ataupun belum mengetahuinya karena belum membukanya. Di sini diandaikan bahwa dengan menerima surat itu ia dianggap ia telah mengetahui isinya. Teori ini memperbaiki teori pengiriman dengan menggeser waktu terjadinya perjanjian hingga saat pembuat penawaran menerima surat jawaban akseptor sekalipun ia belum tahu isinya, yang penting suratnya telah sampai.
d. Teori pengetahuan. Lahirnya perjanjian di saat pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi dari akseptor dengan cara membuka dan membaca isi surat yang dikirim oleh akseptor kepadanya. Teori ini tetap saja mempunyai kelemahan, yakni masih adanya kesempatan untuk mengulur-ulur waktu terjadinya perjanjian dengan cara sengaja tidak membuka surat jawaban akseptasi yang dikirim oleh akseptor. Di samping itu, sulit pula menentukan kapan sesungguhnya ia mengetahui isi surat itu dan yang tahu hal tersebut hanya orang bersangkutan. Kelemahan ini ditutup dengan memperluas arti mengetahui itu dengan persangkaan mengetahui, sehingga berdasarkan patokan ini, perjanjian lahir pada saat yang patut dipersangkakan bahwa pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi yang dikirim oleh akseptor. Jadi, pembuat penawaran tidak mesti mengetahui secara aktual terhadap jawaban akseptasi. As-Sanhuri sebagai arsitek sejumlah kitab undang-undang hukum perdata di negeri Arab, menganut teori pengetahuan yang disempurnakan ini.35 Menurutnya, karena penawaran dibuat oleh pembuatnya, maka kehendaknyalah yang harus dipertimbangkan dan menentukan kapan perjanjian itu lahir. Akseptasi dari pihak kedua tidak lain hanya menyetujui tawaran pembuat penawaran itu dan jika tidak sesuai berarti tidak terjadi perjanjian. Kalau kehendak pembuat penawaran tidak jelas, maka kehendak itu dipersangkakan kepadanya sesuai dengan kepentingan hukumnya, yang dapat dilihat dari diterimanya jawaban akseptasi dari akseptor oleh pembuat penawaran.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi