Selasa, 30 April 2013

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 3
C. Rukun dan Syarat Akad Ketiga: Objek Akad
Rukun ketiga dari akad ini adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Tidak semua benda dapat dijadikan objek akad. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. Objek akad harus sudah ada ketika berlangsung akad. Barang yang belum ada tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum terwujud. Di kalangan para fuqaha, syarat ini masih terjadi selang sengketa tentang keabsahannya. Imam Malik misalnya memandang sah akad yang sifatnya melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’) terhadap benda-benda yang mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu akad masih belum eksis, seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya. Ibn Taimiyyah, pengikut mazhab Hanbali, juga memandang sah akad yang objeknya belum ada dalam berbagai bentuknya, selagi dapat dipastikan tidak akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Masalahnya dalam akad yang seperti ini bukan ada atau belum adanya objek akad, akan tetapi apakah akan mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Dengan kata lain, unsur gharar-nya dipastikan tidak ada. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang syarat ini, secara umum adanya persyaratan bahwa objek harus telah eksis pada waktu akad terjadi, memang diperlukan bagi akad-akad yang memerlukan kepastian. Misalnya, jual beli binatang dalam kandungan tidak boleh dilakukan sebab ada kemungkinan bahwa objek akad yang belum ada tersebut, ada kemungkinannya dalam keadaan mati Dalam hal akad tidak memerlukan kepastian seketika, dan berdasarkan atas pengalaman yang telah menjadi adat kebiasaan yang diterima umum, bahwa kepastian di masa mendatang akan diperoleh, maka syarat adanya objek akad pada waktu akad diadakan, bisa diperlunak. Objek akad cukup diperkirakan akan ada di masa mendatang, seperti dalam hal akad bagi hasil, pesan membuat barang dan lain sebagainya.Lebih tegas lagi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan pendapatnya tentang maksud gharar tersebut dengan membedakan antara ‘barang yang tidak eksis’ dengan ‘ketidakpastian’ yang menimbulkan keraguan eksisnya benda tersebut di masa akan datang. Ia menekankan bahwa yang dilarang syariat bukanlah karena tidak atau belum eksis akan tetapi unsur ketidakpastiannya. Dengan demikian, objek akad yang tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah. Dalam konteks legislasi moderen, pembahasan tentang unsur gharar atau spekulasi lebih banyak mengartikan gharar tersebut dengan unsur ketidakpastiannya, bukan eksistensi barangnya, dan ini sangat berbeda dengan pembahasan fuqaha klasik yang pada umumnya tidak membolehkan transaksi atas barang yang tidak ada pada waktu penutupan akad, meskipun sebagian mereka mengecualikan akad salam, istisna dan sewa menyewa. Hal ini dapat dilihat dalam sejumlah Kode Sipil sejumlah Negara di wilayah Timur tengah, seperti Mesir, Irak, Qatar, Jordania dan Kuwait.
2. Objek akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad yang tidak dapat menerima hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karenanya keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Akad jual beli, tidak dapat dilakukan terhadap benda mubah yang belum menjadi milik seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi milik semua orang untuk menikmatinya. Begitu juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memneuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan dan sungai. 
3. Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui.
    Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari, sehingga tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan agar para pihak dalam melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama. Ketidakjelasan tidak mesti berkaitan dengan semua satuan barang yang akan menajdi objek akad, tetapi cukup sebagian saja, apabila barang tersebut merupakan suatu jenis yang dapat diketahui conntohnya atau keterangan yang jelas tentang sifat-sifatnya. Untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (‘urf) mempunyai peranan penting. Apabila ‘urf memandang jelas, misalnya jual beli kacang tanah yang sudah waktunya dipanen, tetapi masih berada dalam tanah, maka kacang yang ada dalam tanah tersebut dipandang sudah memenuhi syarat kejelasan. Yang penting jangan sampai mengenyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat; penjual jangan menerima harga yang jauh di bawah harga yang wajar dan dapat dijamin tidak akan terjadi sengketa di belakang hari.
   Objek akad itu harus tertentu maksudnya adalah diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan yang bersifat sedikit yang tidak membawa pada persengketaan tidak membatalkan akad. Ahli hukum Hanfi menjadikan adat kebiasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya suatu ketidakjelasan.
   Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya syarat ini harus dipenuhi dalam akad mu’awadah maliyah. Adapun dalam akad lainnya, mereka berbeda pandangan. fuqaha Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat ini harus terpenuhi pada akad mu’awadah ghairu maliyah seperti akad nikah misalnya. Demikian juga halnya Hanafiyah, hanya saja mereka tidak mensyaratkan pada akad tabarru’. Sedangkan Imam Malik tidak mensyaratkan pada selain akad mu’awadah al-maliyah.
   Apabila objek akad berupa perbuatan, maka objek tersebut juga harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak. Dalam akad melakukan sutu pekerjaan, pekerjaan tersebut harus dijelaskan sedemkian rupa sehingga meniadakan ketidakjelasan yang mencolok.
4. Objek akad dapat ditransaksikan.
   Hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada waktu akad yang telah ditentukan, objek akad dapat diserahkan, karena memang benar-benar berada di bawah kekuasan yang sah pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, ikan di laut, burung di udara, binatang yang masih berkeliaran di hutan tidak memnuhi syarat untuk menjadi objek akad. Untuk dapat diserahkan, maka objek akad tersebut harus memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Tujuan objek akad tidak bertentangan dengan transaksi. Dengan kata lain, sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila transaksi bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Misalnya wakaf, karena barangnya ini sudah dilembagakan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan agama atau umum, maka milik individu atas benda tersebut sudah berubah menjadi milik umum (milik Allah). Aturannya benda wakaf dilarang untuk dijual. Akan tetapi aturan umum ini dapat disimpangkan dengan adanya alasan syar’i. misalnya, gedung sekolah yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi pendidikan seperti yang disebutkan dalam ikrar wakaf, maka benda tersebut boleh dijual dan diganti di tempat lain. Begitu juga dengan objek akad perbuatan. Pengerjaan sholat dan menjalani hukuman tidak bisa digantikan oleh orang lain. 
b. Sifat objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan dengan aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
c. Objek akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak sah akad terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syarak.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi

Tiada ulasan:

Catat Ulasan