Selasa, 30 April 2013

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN (THE POWER OF LAW FIDUCIARY AGREEMENT WITH THE DEED UNDER THE HAND)


Review 1 

         ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pelaksanaan eksekusi terhadap objek perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan, dan kendala-kendala yang dihadapai dalam pelaksanaan eksekusi terhadap objek perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan tersebut dan cara mengatasinya. Penelitian dilakukan pada perusahaan pembiayan konsumen yaitu PT Oto Multiartha Cabang Kendari, Pengadilan Negeri Kendari, Kantor Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan, sebelum jaminan dieksekusi harus melewati beberapa tahapan,yaitu musyawarah mufakat dan jalur pengadilan.
 Namun, yang terjadi pihak kreditor tidak melalui jalur pengadilan, tetapi mengeksekusi langsung dengan meminta bantuan debt collector. Lemahnya kekuatan eksekusi membuat kreditor menempuh jalan yang tidak sesuai dengan hokum. Kendala dalam pelaksanaan eksekusi tersebut meliputi factor internal, yaitu Namun apabila hal tersebut tidak berhasil juga maka PT Oto Multiartha melakukan tindakan yaitu menarik barang jaminan tersebut dengan kekuatan sendiri tanpa melaui putusan pengadilan. Hal ini telah diatur dalam perjanjian penjaminannya. yaitu internal, yaitu penarikan barang jaminan oleh kreditor, pelaksanaannya sulit karena debitor tidak mau menyerahkan barang jaminannya dengan sukarela, sementara faktor eksternal dimana pihak debitor mengadakan perlawanan terhadap tindakan sepihak oleh kreditor. Cara mengatasinya yaitu pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mengajukan gugatan kepengadilan dan menunggu sampai adanya putusan pengadilan. Kata Kunci : Akta di bawah tangan dan Eksekusi.

PENDAHULUAN

Dalam penjelasan umum Undang- Undang Nomoe 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan FIdusia selanjutnya disebut UUJF, bahwa dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, maka para pelaku pembangunan baik dari pemerintah maupun masyarakat, baik perorangan maupun badan hukum memerlukan dana yang besar. Sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut disalurkan dan diperoleh melalui lembaga perbankan dan lembaga kekuangan non bank dengan cara pinjam meminjam dalam bentuk kredit. Untuk mencapai pembangunan
dibidang ekonomi sebagaimana tersebut, disamping peran pemerintah peran swasta senantiasa turut membantu. Salah satu peran swasta dalam bidang ekonomi yani dengan melalui lembaga pembiayaan konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen dalam melakukan kegiatan berupa pemberian kredit atau pinjaman kepada setiap kegiatan usaha maupun perorangan harus melakukan tindakan pengamanan yaitu berupa jaminan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Salah satu bentuk lembaga hak jaminan yang banyak digunaka dewasa ini adalah hak jaminan fidusia yang diatur dalam UUJF. Namun sampai saat ini masi terjadi pada lembaga pembiayaan konsumen dalam melakukan perjanjian fidusia belum melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam UUJF tersebut.
Lembaga pembiayaan konsumentersebut dalam melakukan perjanjian penjaminan benda bergerak yang memenuhi perinsip fidusia, akan tetapi tidak memenuhi standar yuridis untuk disebut sebagai jaminan fidusia, karena di dalam Pasal 37 ayat (3) mengatur jika dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian jaminan fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Ini berarti bahwa apabila bentuk perjanjian tidak sesuai dengan UUJF, maka perjanjian jaminan tersebut bukan merupakan jaminan atas benda bergerak. Akan tetapi yang terjadi pada lembaga pembiayaan konsumen dalam melakukan perjanjian mencantumkan katakata dijaminkan secara fidusia, namun perjanjiannya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan sebagaimana yang dilakukan oleh PT Olympindo Multi Finance dalam melakukan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Di dalam perjanjiannya secara tegas diatur bahwa kedua belah pihak setuju untuk membuat perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia. Selanjutnya terdapat klausul yang menyatakan bahwa apabila pihak kedua tidak melunasi pinjamannya, atau tidak memenuhi kewajibannya kepada atau terhadap pihak pertama, pihak kedua berkewajiban dan dengan kesadaran sendiri untuk dapat menyerahkan kembali kendaraan yang dipinjam atau dipakai oleh pihak kedua tanpa menunggu tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh pihak pertama dengan atau tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu, pihak pertama berhak dan dengan ini diberi kuasa dengan hak subtitusi oleh pihak kedua untuk mengambil, menarik dan menguasai kembali secara langsung barang yang pinjam pakai oleh pihak kedua. menjalankan dan menjual di muka umum atau secara di bawah tangan dan atau perantaraan pihak lain dengan harga pasar yang layak.
Berdasakan klausul-klausul tersebut, maka PT Olympindo berhak untuk melakukan eksekusi secara langsung dengan kekuasaannya sendiri tanpa putusan pengadilan sebagaimana yang selama ini dilakukan terhadap debitornya yang cidera janji. Sedangkan menurut UUJF bahwa yang dapat melakukan eksekusi secara langsung hanyalah bentuk perjanjian yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut penulis bahwa ada kecenderungan pihak kreditor melakukan tindakan sepihak kepada debitor yang cidera janji khususnya dalam melaksanakan eksekusi.

METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yang digunakan untuk menganalisa pelaksanaan eksekusi terhadap objek perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan, yang dikaitkan dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan atas masalah yang diteliti.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kendari dengan sasaran pada perusahaan lembaga pembiayaan. Konsumen Hal ini dipilih dengan pertimbangan bahwa masih adanya lembaga pembiayaan konsumen yang membuat perjanjian jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan yang melakukan eksekusi secara langsung tanpa putusan pengadilan/ grosse akta.

C. Populasi dan sampel
a. Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan pembiayaan konsumen yang ada Kota Kendari.   Sampel dalam penelitian ini adalah PT Oto Multiartha Cabang Kendari dengan responden sebagai berikut:
a. Branch Manager PT Oto Multiartha 1 (satu) orang dan bagian pengarsipan 1(satu) orang.
b. Hakim Pengadilan Negeri Kendari sebanyak 1 (satu) orang.
c. Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara (Kepala Bidang Pelayanan Hukum 1(satu) orang.
d. Dealer 1 0rang.
e. Nasabah debitor pada PT Oto Multiartha sebanyak 15 (lima belas ) orang.

D. Jenis dan Sumber Data.
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk menunjang hasil penelitian adalah :
1.      Data Primer .
Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari sumbernya, melalui wawancara dengan sumber informasi terpilih. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari responden melalui wawancara yaitu dengan nasabah dari lembaga pembiayaan konsumen tempat penelitian dilaksanakan.
2.      Data Sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui dokumen-dokumen atau catatan tertulis. Data sekunder dalam penelitian ini terbagi atas :
a. Data hukum primer merupakan bahan hukum yang paling utama digunakan sebagai dasar dalam penyusunan tesis ini yaitu Undanh-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum berupa literaturliteratur yang berkaitan langsung dengan masalah yang akan diteliti.

E. Teknik Pengumpulan Data.
1. Wawancara dan Kuesioner
a) Wawancara dilakukan terhadap informan yang telah ditentukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam tentang pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Dengan informan dari pihak yang berkompeten pada perusahaan pembiayaan, yaitu dengan pimpinan pada perusahaan yang menjadi objek penelitian.

Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi









Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 4 
D. Rukun dan Syarat Akad Keempat: Tujuan Akad
Tujuan akad ini merupakan rukun tambahan, di mana sebelumnya rukun akad disebutkan hanya tiga yaitu para pihak, sighat dan objek akad. Oleh ahli hukum Islam moderen menambahkan satu lagi yaitu. tujuan akad. Dalam akad, kita mengenal adanya hukum akad yakni akibat hukum yang timbul dari akad, yang dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu hukum pokok akad dan hukum tambahan akad. Hukum pokok akad adalah akibat hukum yang pokok yang menjadi maksud dan tujuan bersama yang hendak direalisasikan oleh para pihak melalui akad. Hukum pokok akad inilah yang dimaksudkan dengan tujuan akad yang menjadi rukun keempat.48 Misalnya tujuan pokok akad jual beli adalah memindahkan hak milik atas barang dengan sejumlah imbalan. Sedangkan hukum tambahan akad adalah hak dan kewajiban yang timbul dari akad, misalnya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli.
Beberapa pengkaji hukum moderen melihat konsep tujuan akad ini sebagai kausa yang menjadi dasar keabsahan dan pembatalan perjanjian. Teori kausa sendiri merupakan konsep yang berkembang dalam hukum Barat. Dengan demikian, mereka mencoba berbicara teori kausa dalam hukum perjanjian Islam dalam kerangka hukum barat. Tidak ada kesepakatan tentang teori kausa ini dalam hukum perjanjian Islam apakah ia sama dengan motif atau ia merupakan consideration (prestasi), sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam hukum Barat sendiri. Ada juga yang menganggapnya sebagai tujuan bersama para pihak
Abdur Razaq as-Sanhuri merupakan sarjana hukum Islam moderen yang menganggap kausa adalah motif. Walaupun hukum Islam tidak merumuskan ajaran kausa ini secara khusus, namun dari berbagai detail perjanjian khusus, ajaran kausa ini dapat dirumuskan. Menurutnya, dengan mengkaji aneka perjanjian khusus tersebut, terlihat hukum Islam berada di antara dua kutub semangat yang berlawanan. Pertama, hukum Islam yang bercirikan semangat objektivisme, yang lebih mementingkan dan memberikan perhatian lebih terhadap ungkapan kehendak daripada kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran kausa sulit untuk mendapat tempat dan tidak berkembang. Kedua, hukum Islam yang dicirikan oleh semangat dan prinsip etika dan keagamaan, karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari agama itu sendiri. Di sinilah ajaran kausa mendapat tempat yang luas, di mana ia digunakan untuk mengukur kesucian hati dan niat seseorang dalam melakukan perjanjian.
Jika perbedaan orientasi di atas dikaitkan dengan mazhab hukum dalam Islam, maka mazhab Hanafi dan Syafi’i masuk ke dalam kategori mazhab yang dikuasai oleh semangat objektivisme. Dalam kedua mazhab ini, motif pembentukan akad tidak dipertimbangkan kecuali kalau disebutkan dalam akad. Motif hanya bisa masuk dalam wilayah yang sangat sempit melalui formula akad dan ungkapan kehendak, kalau motif tidak disebutkan dalam pernyataan kehendak, maka motif tidak diperhitungkan. Ketika motif telah disebutkan dalam perjanjian, maka sah atau tidaknya perjanjian tersebut tergantung pada sah atau tidaknya kausa tersebut. Jika seseorang menyewa mobil untuk membunuh orang maka akad sewa tersebut tidak sah karena kausanya adalah suatu yang terlarang, yakni membunuh. Sebaliknya kalau seseorang berniat menikahi orang lain dengan niat untuk diceraikan setelah 2 hari pernikahan, maka pernikahan tersebut dipandang sah selama tidakdiungkapkan dalam formula akad. demikian pendapat Syafi’i
Kausa dapat pula disimpulkan secara diam-diam dengan melihat sifat dan hakikat objek akad. Jual beli alat musik misalnya, bisa menjadi tidak sah karena sifat dan hakikat dari objek jual beli terkandung sifat hura-hura yang bisa menjauhkan orang dari mengingat Allah. Demikian pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, murid dari Abu Hanifah. Namun menurut Abu Hanifah sendiri membolehkan akad tersebut karena alat-alat musik itu bisa saja digunakan untuk keperluan lain tidak mesti untuk hura-hura, meskipun sifat hura-hura terkandung dalam sifat objek akad.
Mazhab Maliki dan Hanbali adalah mazhab yang dapat dikategorikan sebagai mazhab yang didominasi oleh konsep etis dan moral sehingga memberi tempat yang sangat luas bagi motif tanpa mempertimbangkan apakah motif tersebut terkandung atau tidak di dalam pernyataan kehendak (ungkapan akad) selama motif tersebut diketahui oleh pihak lawan. Perjanjian menjadi batal atau tidak tergantung pada apakah motif itu sah atau tidak. Hal ini dapat dilihat dalam kasus jual beli senjata kepada orang yang diketahuinya bermaksud menggunakannya untuk membunuh orang, maka jual beli tersebut batal. Sebaliknya, bila ia menjualnya kepada prang yang diketahuinya untuk berjihad fi sabilillah, maka jual beli itu sah. Demikian juga yang yang melakukan riba dengan akad jual beli yang dilakukannya, maka terjadilah riba bagaimanapun bentuk akadnya. Demikian pendapat Ibn al-Qayyim, pemuka mazhab Hanbali.
Mazhab Maliki membahas konsep motif ini dalam kerangka sadd al-zari’ah (tindakan preventif). Dalam kasus jual beli perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai khamar, dengan alasan sadd al-zari’ah, maka jual beli tersebut menjadi batal. Dengan kerangka berpikir seperti inilah mazhab ini mengharamkan jual beli bai’ al-‘inah yakni jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang melalui pinjaman dengan penangguhan waktu, dan ini adalah riba yang dilarang.
Sementara itu ahli hukum dengan latar belakang konsepsi hukum anglosakson mengkonsepsikan kausa dalam hukum Islam sebagai consideration (prestasi), yakni prestasi yang diberikan oleh lawan janji yang menjadi dasar pertimbangan bagi pemberi janji untuk melaksanakan janjinya. Prestasi ini harus disetujui oleh pemberi janji yang dapat dilihat dari kenyataan bahwa prestasi itu dikehendaki olehnya sebagai imbalan atas janji yang ia berikan. Sebaliknya penerima janji melakukan prestasi itu juga sebagai imbalan atas pelaksanaan janji pihak pertama. Susan E Reiner membahas consideration ini dengan menghubungkannya dengan harga dalam objek akad. Menurutnya, harga harus ada saat dibuatnya akad dan tidak dapat ditentukan kemudian berdasarkan harga pasar atau diserahkan penentuannya kepada pihak ketiga. Intinya akad harus mempunyai consideration, baik pembayaran dilakukan seketika di majelis akad, pada waktu sebelum diserahkan atau pada yang sudah ditentukan.
VI. Penutup
Pembaharuan dan modernisme mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak awal abad ke-20, karena sebagian negara-negara muslim mulai mendapatkan kadaulatan politiknya. Periode pasca kemerdekaan negara-negara Islam ditandai dengan beberapa situasi baru yang sebagian merupakan konsekwensi logis dari meodernisasi periode sebelumnya. Kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri sesungguhnya mengandung makna perubahan yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarat, khususnya dalam bidang tekonologi dan ekonomi.
Dalam konteks negara Indonesia, perubahan tersebut dapat dilihat munculnya fenomena baru dalam perkembangan perekonomian, yang dilandasi oleh semangat kembali ke syariat. Kemunculan dan berdirinya lembaga perekonomian yang dilabeli syariat yang diikuti dengan usulan berbagai macam bentuk peraturan untuk merespon perkembangan tersebut, membuktikan pandangan di atas. Begitu juga kalau kita lihat dalam konteks negara muslim secara keseluruhan. Munculnya kesadaran dan tuntutan untuk melaksanakan aturan-aturan keperdataan Islam ke dalam Kode Sipil Arab adalah fenomena baru dalam perkembangan hukum negara-negara Arab.
Tidak menutup kemungkinan akan terjadi akselerasi perkembangan di bidang perekonomian syariah untuk masa yang akan datang, di mana fikih muamalah merupakan salah satu pilar yang paling pentingnya. Oleh karena itu, kemungkinan itu perlu dipersiapkan dengan mengembangkan teori-teori telah yang dikembangkan oleh para fuqaha klasik yang terserak-serak dalam berbagai kitab mereka. 

Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 3
C. Rukun dan Syarat Akad Ketiga: Objek Akad
Rukun ketiga dari akad ini adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Tidak semua benda dapat dijadikan objek akad. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. Objek akad harus sudah ada ketika berlangsung akad. Barang yang belum ada tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum terwujud. Di kalangan para fuqaha, syarat ini masih terjadi selang sengketa tentang keabsahannya. Imam Malik misalnya memandang sah akad yang sifatnya melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’) terhadap benda-benda yang mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu akad masih belum eksis, seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya. Ibn Taimiyyah, pengikut mazhab Hanbali, juga memandang sah akad yang objeknya belum ada dalam berbagai bentuknya, selagi dapat dipastikan tidak akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Masalahnya dalam akad yang seperti ini bukan ada atau belum adanya objek akad, akan tetapi apakah akan mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Dengan kata lain, unsur gharar-nya dipastikan tidak ada. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang syarat ini, secara umum adanya persyaratan bahwa objek harus telah eksis pada waktu akad terjadi, memang diperlukan bagi akad-akad yang memerlukan kepastian. Misalnya, jual beli binatang dalam kandungan tidak boleh dilakukan sebab ada kemungkinan bahwa objek akad yang belum ada tersebut, ada kemungkinannya dalam keadaan mati Dalam hal akad tidak memerlukan kepastian seketika, dan berdasarkan atas pengalaman yang telah menjadi adat kebiasaan yang diterima umum, bahwa kepastian di masa mendatang akan diperoleh, maka syarat adanya objek akad pada waktu akad diadakan, bisa diperlunak. Objek akad cukup diperkirakan akan ada di masa mendatang, seperti dalam hal akad bagi hasil, pesan membuat barang dan lain sebagainya.Lebih tegas lagi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan pendapatnya tentang maksud gharar tersebut dengan membedakan antara ‘barang yang tidak eksis’ dengan ‘ketidakpastian’ yang menimbulkan keraguan eksisnya benda tersebut di masa akan datang. Ia menekankan bahwa yang dilarang syariat bukanlah karena tidak atau belum eksis akan tetapi unsur ketidakpastiannya. Dengan demikian, objek akad yang tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah. Dalam konteks legislasi moderen, pembahasan tentang unsur gharar atau spekulasi lebih banyak mengartikan gharar tersebut dengan unsur ketidakpastiannya, bukan eksistensi barangnya, dan ini sangat berbeda dengan pembahasan fuqaha klasik yang pada umumnya tidak membolehkan transaksi atas barang yang tidak ada pada waktu penutupan akad, meskipun sebagian mereka mengecualikan akad salam, istisna dan sewa menyewa. Hal ini dapat dilihat dalam sejumlah Kode Sipil sejumlah Negara di wilayah Timur tengah, seperti Mesir, Irak, Qatar, Jordania dan Kuwait.
2. Objek akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad yang tidak dapat menerima hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karenanya keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Akad jual beli, tidak dapat dilakukan terhadap benda mubah yang belum menjadi milik seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi milik semua orang untuk menikmatinya. Begitu juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memneuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan dan sungai. 
3. Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui.
    Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian hari, sehingga tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan agar para pihak dalam melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama. Ketidakjelasan tidak mesti berkaitan dengan semua satuan barang yang akan menajdi objek akad, tetapi cukup sebagian saja, apabila barang tersebut merupakan suatu jenis yang dapat diketahui conntohnya atau keterangan yang jelas tentang sifat-sifatnya. Untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (‘urf) mempunyai peranan penting. Apabila ‘urf memandang jelas, misalnya jual beli kacang tanah yang sudah waktunya dipanen, tetapi masih berada dalam tanah, maka kacang yang ada dalam tanah tersebut dipandang sudah memenuhi syarat kejelasan. Yang penting jangan sampai mengenyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat; penjual jangan menerima harga yang jauh di bawah harga yang wajar dan dapat dijamin tidak akan terjadi sengketa di belakang hari.
   Objek akad itu harus tertentu maksudnya adalah diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah. Ketidakjelasan yang bersifat sedikit yang tidak membawa pada persengketaan tidak membatalkan akad. Ahli hukum Hanfi menjadikan adat kebiasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya suatu ketidakjelasan.
   Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya syarat ini harus dipenuhi dalam akad mu’awadah maliyah. Adapun dalam akad lainnya, mereka berbeda pandangan. fuqaha Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat ini harus terpenuhi pada akad mu’awadah ghairu maliyah seperti akad nikah misalnya. Demikian juga halnya Hanafiyah, hanya saja mereka tidak mensyaratkan pada akad tabarru’. Sedangkan Imam Malik tidak mensyaratkan pada selain akad mu’awadah al-maliyah.
   Apabila objek akad berupa perbuatan, maka objek tersebut juga harus tertentu atau dapat ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak. Dalam akad melakukan sutu pekerjaan, pekerjaan tersebut harus dijelaskan sedemkian rupa sehingga meniadakan ketidakjelasan yang mencolok.
4. Objek akad dapat ditransaksikan.
   Hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada waktu akad yang telah ditentukan, objek akad dapat diserahkan, karena memang benar-benar berada di bawah kekuasan yang sah pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, ikan di laut, burung di udara, binatang yang masih berkeliaran di hutan tidak memnuhi syarat untuk menjadi objek akad. Untuk dapat diserahkan, maka objek akad tersebut harus memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Tujuan objek akad tidak bertentangan dengan transaksi. Dengan kata lain, sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila transaksi bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Misalnya wakaf, karena barangnya ini sudah dilembagakan untuk dimanfaatkan untuk kepentingan agama atau umum, maka milik individu atas benda tersebut sudah berubah menjadi milik umum (milik Allah). Aturannya benda wakaf dilarang untuk dijual. Akan tetapi aturan umum ini dapat disimpangkan dengan adanya alasan syar’i. misalnya, gedung sekolah yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi pendidikan seperti yang disebutkan dalam ikrar wakaf, maka benda tersebut boleh dijual dan diganti di tempat lain. Begitu juga dengan objek akad perbuatan. Pengerjaan sholat dan menjalani hukuman tidak bisa digantikan oleh orang lain. 
b. Sifat objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan dengan aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
c. Objek akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak sah akad terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syarak.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi

Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 2
B. Rukun dan Syarat Akad Kedua: Pernyataan Kehendak
Pernyataan kehendak yang biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan (ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad. Agar ijab dan qabul ini menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama, adanya persesuaian (tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian kehendak tersebut haruslah disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis)
1. Persesuaian ijab dan qabul.
Pernyataan kabul disayaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak hal. Pernyataan jawaban yang tidak sesuai dengan ijab tidak dinamakan sebagai qabul. Penjual kitab menjual kitabnya dengan harga Rp 30.000, kemudian pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp 20.000, maka akad tidak terjadi dalam keadaaan ini. Begitu juga, keserasian qabul harus sesuai dalam berbagai sifat. Seperti ijab menjual sepetak kebun, lalu qabul menyatakan separohnya, maka akad tidak
terjadi, kecuali pihak yang lainnya menyetujuinya. Jika perselisihan qabul terhadap ijab tersebut justru menguntungkan pihak mujib, ketidakserasian ini tidak menjadi penghalang berlangsungnya akad, karena yang demikian itu tidak dinamakan perselisihan dalam akad akan tetapi penambahan dalam kesepakatan (qabul bi al-mubalaghah). Misalnya, jika pihak pembeli menyatakan ijab dengan harga Rp. 10.000, pihak penjual menyatakan qabul dengan harga Rp 9.000, atau pihak penjual menyatakan ijab dengan harga Rp.9.000 dan pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp. 10.000.
Sebagai salah satu azaz dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad. 
Dalam hukum perjanjian Islam, pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk:
a. Pernyataan kehendak secara lisan, di mana para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan kehendak melalui ucapan itu harus jelas maksudnya dan tegas isinya. Ijab dan qabul dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga dilakukan dengan tidak berhadapan langsung, melalui telepon misalnya. Tentang permasalahan akad secara tidak berhadapan langsung ini, terdapat permasalahan di dalamnya, yakni penentuan kapan terjadinya akad jika dihubungkan dengan kesatuan majelis akadnya sebagai syarat ijab dan qabul. Hal ini akan dibahas pada bagian majelis akad.
b. Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.
c. Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil). Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli). Bila ijab disampaikan melalui tulisan/surat, dan penerima surat tersebut menyatakan penerimaannya terhadap penawaran tersebut, maka perjanjian dianggap sudah terjadi. Apabila penerima tulisan tersebut tidak menyatakan penerimaannya pada majelis tempat diterimanya surat tersebut, maka penawaran tidak terhapus, tapi tetap berlaku selama surat tersebut ada pada penerimanya. Ini beda dengan penawaran melalui utusan, apabila tidak dijawab oleh penerima penawaran di tempat disampaikannya penawaran tersebut, maka ijab menjadi hapus dan diperlukan ijab baru. 
d. Pernyataan Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang normal, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh orang yang cacat melalui isyarat dengan syarat jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kehendak untuk membuat perjanjian. Bila yang berakad adalah orang yang mampu untuk berakad secara lisan, maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia harus memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan, karena isyarat meskipun menunjukkan kehendak, ia tidak memberikan keyakinan jika dibandingkan dengan keyakinan yang dihasilkan dari akad secara lisan atau tulisan. Demikian pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Hanya saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan (ridha) para pihak.
e. Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah memahami perbuatan perjanjian tersebut dengan segala akibat hukumnya. Misalnya jual beli yang terjadi di supermarket misalnya, yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Fuqaha juga berbeda pandangan tentang jenis pernyataan ini. Kelom­pok Hanafiah menganggap sah akad secara ta’ati dalam setiap akad kebendaan, jika hal ini telah menjadi kebiasaan sebuah masyarakat,tetapi harga barang harus diberitahukan dengan jelas. Menurut Maliki­yah akad ta’ati ini harus disertai dengan indikasi yang sangat jelas yangn menunjukkan kerelaan masing-masing pihak, baik telah menjadi adat atau tidak. Sedang menurut Ssyafi’iyyah, akad tidak bisa dilaksanakan secara ta’ati
2. Kesatuan Majelis Akad
Sebelumnya telah dijelaskan berbagai cara untuk menyatakan kehendak, salah satunya adalah dengan tulisan, atau secara lisan dimana masing-masing pihak tidak berada dalam kesatuan majelis, melalui telepon misalnya. Sementara itu, para fuqaha menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus dilaksanakan dalam satu majelis akad.
Tempat dan waktu di mana kedua belah pihak berada pada saat negosiasi yang dimulai dari saat diajukannya ijab dan berlangsung selama mereka tetap fokus pada masalah perundingan perjanjian serta berakhir dengan berpalingnya mereka dari negosiasi tersebut, inilah yang disebut dengan majelis akad. Teori majelis akad ini secara umum dimaksudkan untuk menentukan kapan dan di mana akad terjadi dan secara khusus untuk menentukan kapan qabul dapat diberikan dan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak guna mempertimbangkan akad itu. Sebagai konsekwensi dari teori majelis akad ini adalah lahirnya khiyar qabul, khiyar penarikan (khiyar ar-ruju’) dan khiyar majelis (khiyar al-majelis). 
Kesatuan akad seharusnya tidak dipahami secara kaku dalam batasan dimensi ruang dan waktu. Sebaliknya konsep kesatuan majelis perlu dikembangkan sejalan dengan perkembangan dan kemajuan media bisnis. Dalam hal ini, kesatuan majelis menjadi tidak ada artinya jika para pihak secara fisik bersatu dalam majelis akad akan tetapi tidak terjadi kesesuaian gagasan bertransaksi, jika dibandingkan dengan transaski yang dilakukan dalam keadaan berjauhan akan tetapi kesatuan atau kesepakatan transaksi antara kedua pihak secara substantif telah tercapai.
Kesatuan majelis tidaklah dimaksudkan dengan kesatuan tempat dan waktu, karena hal ini akan sulit diterapkan dalam realitas kehidupan kontemporer, di mana transaksi bisa saja terjadi melalui alat komunikasi yang menempatkan para pihak tidak dalam kesatuan tempat. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan kesatuan majelis akad adalah kesatuan waktu, bukan kesatuan tempat secara fisik, di mana para pihak yang berakad masih fokus pada perjanjian yang dibuat. Ketika salah satu pihak sudah pindah
perhatian, maka majelis akad dianggap telah berakhir. Dengan demikian, maka akad dengan ijab melalui telepon atau alat komunikasi adalah majelis sejak dibuatnya ijab melalui telepon atau dikirimkannya surat sampai ada jawaban dari pihak lawan. Ijab dianggap berakhir ketika pembicaraan dialihkan kepada soal lain sebelum qabul dinyatakan.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menentukan kapan tercapainya kesepakatan dalam akad antara pihak yang berjauhan tempat. Kepastian hal ini adalah penting untuk menentukan kapan hak khiyar ruju’ bisa digunakan, penentuan kadaluarsa dan resiko. Untuk menjawab permasalahan ini, bisa digunakan 4 teori dalam hukum Barat mengenai kapan perjanjian dianggap lahir antara pihak yang berjauhan tempat, yaitu:
a. Teori pernyataan, lahirnya perjanjian di saat penerima menyatakan akseptasinya, dalam hal ini pernyataan tertulis. Alasannya adalah bahwa teori ini sesuai dengan asas umum bahwa perjanjian adalah pertemuan kehendak kedua belah pihak. Bila pihak yang mendapat penawaran telah menyatakan akseptasinya berati perjanjian telah lahir. Teori ini juga sesuai dengan karekater dunia perdagangan yang cepat dan praktis, di mana pihak yang mendapat penawaran dapat memenuhi kepentingannya seketika ia menyatakan penerimaannya. Kelemahan teori ini adalah tidak diketahui dengan pasti kapan akseptasi diberikan oleh pihak mitra janji sehingga sulit ditentukan kapan bisa digunakan hak khiyar ruju.
b. Teori pengiriman. Perjanjian lahir di saat pernyataan akseptasi final dibuat sehingga tidak dapat diulur-ulur lagi. Pernyataan final ini terwujud pada saat akseptor mengirimkan jawabannya kepada pembuat penawaran. Kelemahan teori ini tetap tidak diketahui dengan pasti oleh pihak yang memberikan penawaran kapan adanya penerimaan penawaran oleh pihak penerima penawaran. Belum lagi, surat atau kiriman bisa saja dikembalikan oleh kantor pos atau telegram, bahkan bisa terjadi kehilangan.
c. Teori penerimaan. Lahirnya perjanjian di saat orang yang membuat penawaran menerima jawaban akseptasi dari pihak yang menerima penawaran, baik pembuat penawaran telah mengetahui isi surat jawaban tersebut ataupun belum mengetahuinya karena belum membukanya. Di sini diandaikan bahwa dengan menerima surat itu ia dianggap ia telah mengetahui isinya. Teori ini memperbaiki teori pengiriman dengan menggeser waktu terjadinya perjanjian hingga saat pembuat penawaran menerima surat jawaban akseptor sekalipun ia belum tahu isinya, yang penting suratnya telah sampai.
d. Teori pengetahuan. Lahirnya perjanjian di saat pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi dari akseptor dengan cara membuka dan membaca isi surat yang dikirim oleh akseptor kepadanya. Teori ini tetap saja mempunyai kelemahan, yakni masih adanya kesempatan untuk mengulur-ulur waktu terjadinya perjanjian dengan cara sengaja tidak membuka surat jawaban akseptasi yang dikirim oleh akseptor. Di samping itu, sulit pula menentukan kapan sesungguhnya ia mengetahui isi surat itu dan yang tahu hal tersebut hanya orang bersangkutan. Kelemahan ini ditutup dengan memperluas arti mengetahui itu dengan persangkaan mengetahui, sehingga berdasarkan patokan ini, perjanjian lahir pada saat yang patut dipersangkakan bahwa pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi yang dikirim oleh akseptor. Jadi, pembuat penawaran tidak mesti mengetahui secara aktual terhadap jawaban akseptasi. As-Sanhuri sebagai arsitek sejumlah kitab undang-undang hukum perdata di negeri Arab, menganut teori pengetahuan yang disempurnakan ini.35 Menurutnya, karena penawaran dibuat oleh pembuatnya, maka kehendaknyalah yang harus dipertimbangkan dan menentukan kapan perjanjian itu lahir. Akseptasi dari pihak kedua tidak lain hanya menyetujui tawaran pembuat penawaran itu dan jika tidak sesuai berarti tidak terjadi perjanjian. Kalau kehendak pembuat penawaran tidak jelas, maka kehendak itu dipersangkakan kepadanya sesuai dengan kepentingan hukumnya, yang dapat dilihat dari diterimanya jawaban akseptasi dari akseptor oleh pembuat penawaran.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi


Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam


Review 1
Abstract
The field of social affairs of Islamic law has been paid attention more betterrecently. This indicates by the emerging of many kinds of the finance and syariah business institution.Besides, it also enlarging of Islamic court authority in handling the cases not only inheritance, the last will, gifth, and the waqf but also those of syariah economics. Hence, it is urgent need to study the basic principles that becoming the substance of transaction. Departing from these basic principles can support to handle the cases that arise in this field of Islamic law. This contrary to the model of Islamic jurists that always study many kinds of particular transactions without describing the general principle. This article aims to describe the general principles of the elements and the criteria
Keywords: akad, perjanjian, prinsip, Islam, dan sengketa.
I. Pendahuluan
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah bagaimana hukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk trnasaksi ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum didapat pengaturannya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fuqaha klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara atomistik, di mana para fuqaha langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati perjanjian-perjanjian khusus tersebut. Dalam kitab-kitab fiqih, para fuqaha
klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa, serikat atau persekutuan usaha.
Untuk menjawab kebutuhan di atas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam di zaman moderen ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik tersebut. Hal ini semakin beralasan, karena hukum Islam di bidang muamalat ini semakin mempunyai arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan bisnis syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi dan lain-lainnya. Hal ini tentunya menuntut penjustifikasian dari aspek syariah.
Dalam konteks Indonesia, perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk memperluas aturan formal hukum Islam ke dalam bidang muamalat. Usulan ini telah dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut dapat dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Sementara itu, aspek yang paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan ekonomi Islam adalah hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya Peradilan Agama tersebut. Makalah ini selanjutnya akan berusaha membahas permalahan rukun dan syarat akad tersebut.
II. Perbedaan Pemaknaan Istilah Rukun dan Syarat
Untuk terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad.
Hanya saja, di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul
Fuqaha Hanafiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yakni sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul akad bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkannya.Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatan sholat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini maka al-aqid (orang/pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. 
Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy). Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad.
Berdasarkan perbedaan pendangan dua kelompok di atas tentang rukun akad, maka Mustafa Ahmad az-Zarqa menawarkan istilah lain untuk
menyatukan pandangan kedua kelompok tersebut tentang apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan rukun. Beliau menyebutnya dengan istilah muqawwimat akad (unsur penegak akad), di mana salah satunya adalah rukun akad, ijab dan qabul. Sedangkan unsur lainnya adalah para pihak, objek akad dan tujuan akad.
III. Rukun dan Syarat Akad
A. Rukun dan Syarat Akad Pertama: Al-‘Aqidain (Para Pihak)
Ijab dan qabul sebagai esensi akad tidak dapat terlaksana tanpa adanya al-‘aqidain (kedua pihak yang melakukan akad). Agar ijab dan qabul benar-benar mempunyai akibat hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijab dan qabul dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yakni bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
Dilihat dari segi kecakapan melaksanakan akad, sebagian di antara manusia tidak dapat melaksanakan akad apapun, sebagian lagi bisa melaksanakan akad tertentu dan sebagian lagi cakap melakukan semua akad. Adanya perbedaan kualifikasi dalam melakukan akad antara satu orang dengan yang lain sangat ditentukan oleh permasalahan ahliyyah (kelayakan melakukan akad). Berikut ini akan diberikan penjelasan tentang permasalahan ahliyyah ini.
Menurut para ahli fuqaha dan ahli usul, ahliyyah didefenisikan dengan “kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan memikul kewajiban, dan kecakapan untuk melakukan tasarruf”. Dengan demikian, kecakapan dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif , dan inilah yang dimaksudkan oleh kata-kata tasarruf di atas.
Ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta
miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa. 
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah kecakapan seseorang untuk melakukan tasarruf (tindakan hukum) dan dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut, yang berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakan ahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal sehat. Atau dengan kata lain telah mencapai usia dewasa.
Selama ini, pembahasan makna kedewasaan oleh para ahli ushul selalu dikaitkan dengan tanda-Tanda fisik seperti ihtilam dan haid, batasan umur ketika telah mencapai 15, 17 atau 18 tahun, dan sebagainya.
Menurut Syamsul Anwar, kedewasaan dan tamyiz haruslah dibedakan dalam kaitannya dengan ibadah dengan kedewasaan dan tamyiz dalam lapangan hukum harta kekayaan (muamalat maliyah). Lebih lanjut menurut beliau, patokan kedewasaan dalam lapangan hukum muamalat malah lebih tepat bila didasarkan kepada QS. 4:6. Dalam ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa anak yatim dapat mengelola harta kekayaannya sendiri ketika ia telah mencapai usia baligh untuk menikah dan matang (rusyd). Baligh di sini maksudnya adalah anak itu telah ihtilam, yakni keluar mani, sehingga ia mampu melaksanakan pernikahan. Hanya saja ulama berbeda pendapat kapan usia ihtilam tersebut dan bagaimana kriteria rusyd tersebut. Ada yang menyebutkan 12 tahun merupakan usia ihtilam. Sedangkan maksud rusyd adalah kemampuan bertindak secara tepat (isbatul haqq) seperti yang dikemukakan oleh al-Mawardi, dan ada juga yang menyatakan bahwa rusyd adalah sikap yang benar dan terkendali dalam tindakan mengelola kekayaan.
  Dalam kontek Indonesia, kata rusyd tersebut dalam diterjemahkan dengan kata kematangan. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan bahwa anak yang berusia 15 tahun ternyata belum begitu matang dalam berpikir apalagi untuk bertindak yang menyangkut kekayaan. Oleh karena itu untuk menentukan kedewasaan dalam lapangan hukum kekayaaan lebih tepat dianut pendapat fuqaha Hanafi bahwa maksud dewasa adalah ketika seseorang memasuki usia 18 tahun dan 19 tahun, karena anak pada usia tersebut telah matang secara fisiologis dan psikologis tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan, tanpa ada pembedaaan. Ini sesuai pula dengan adat kebiasaan yang menganggap kematangan usia tercapai pada usia 18 tahun.
Begitu pula dengan usia 7 tahun sebagai batas usia tamyiz, lebih dekat pada kriteria yang berlaku dalam ibadah. Untuk lapangan harta kekayaan diperlukan usia lebih besar tetapi belum matang, yakni usia 12 tahun hingga 18 tahun, karena pada usia 12 tahun anak sudah dapat melakukan tindakan yang murni menguntungkan pada usia 12 tahun, sedangkan usia di bawahnya masih dipandang sebagai usia kanak-kanak.Hal ini sejalan pula dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang membatasi usia mumayyiz pada usia 12 tahun.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa periodesasi manusia dalam kaitannya dengan tingkat-tingkat kecakapan hukum dalam hukum harta kekayaan adalah: (1) periode janin di mana subjek hukum memiliki kecakapan menerima hukum tidak sempurna, (2) periode kanak-kanak yaitu usia 0 tahun hingga genap 11 tahun, di mana ia memiliki kecakapan menerima hukum sempurna, hanya saja untuk kewajiban ia dapat menerima kewajiban terbatas, (3) anak mumayyiz, yakni usia 12 tahun hingga genap usia 18 tahun, di mana ia memiliki kecapakan bertindak hukum tidak sempurna di samping kecakapan menerima hukum sempurna, dan (4) orang berusia genap 18 tahun, adalah orang dewasa dan memiliki kecakapan bertindak hukum sempurna, di samping kecakapan menerima hukum sempurna.
2. Syarat kedua adalah bahwa untuk terwujudnya akad harus berbilang pihak atau lebih dari satu pihak, karena pada hakekatnya, akad merupakan pertemuan antara ijab di satu pihak dan qabul di pihak yang lain.
Akad tidak terwujud hanya dengan satu pihak saja, sebab dalam setiap akad harus ada dua pihak. Namun, adakalanya seseorang melakukan akad dengan mewakilkannya atau memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan akad atas namanya. Demikian juga seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain untuk menutup suatu perjanjian. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan akad dengan dirinya sendiri baik sebagai pihak asil (prinsipil) di satu sisi dan di pihak lain dalam waktu yang sama juga menjadi wakil pihak lain, atau sekaligus menjadi wakil dari dua pihak dalam penutupan perjanjian. Bentuk kedua akad perwakilan ini adalah tidak sah, karena pada asasnya dalam hukum Islam penutupan perjanjian dengan diri sendiri tidak boleh dilakukan kecuali ayah atau kakek yang mewakili anak atau cucu
di bawah perwaliannya. Hal ini karena tindakan tersebut membawa pertentangan kepentingan sebab satu orang yang sama menjadi kreditor dan debitur serta penyerah dan penerima sekaligus dalam waktu yang sama. Satu orang yang sama tidak dapat menjadi sangkutan hak-hak yang saling berhadapan.


Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi