REVIEW 1
ABSTRACT
The weak legal
system in Indonesia resulted in cooperative vulnerable to a wide variety of
irregularities in cooperative body. There is no clear legal sanction in the Act
cooperative and transparent to the manager (manager) who do abuse, but
returned. immediately to the criminal and civil law. The purpose of this study
was to determine the legal protection of co-operative members’ savings fund in
terms of existing laws in Indonesia and to determine the role of government in
protecting the funds of the cooperative members of embezzlement by cooperative management
practices. Analysis of the data in this study carried out by combining the
juridical analysis of qualitative and phenomenological analysis. This means
that normative studies based on empirical results of interviews and
observations in the field. In this study researchers interviewed officials at
seven service cooperatives in five cities in East Java. Office of the studied
cooperatives, among others: Cooperatives and the District Municipality
Mojokerto, district and municipality of Kediri, Nganjuk District, Trenggalek
and Tulungagung District.
The results of
this study is the cooperative law for KSP/USP still has a large gap to
the practice of embezzlement
members. Role was limited to cooperative service builder and facilitator,
because the cooperative has the principle of autonomy in managing its internal
affairs. Moreover there is no deposit guarantee agency (LPS) on specific
cooperative banking sector. It is very risky in the case of cooperative members
in case of embezzlement of funds by the board members of cooperatives. The
effort has been done by local governments through cooperative service
district/city to help protect members of the cooperative fund is still less
than optimal. Coaching function tends to be a mere formality, less programmatic
and real benefits. Quantity and quality of service personnel are still not
capable of cooperative expert witness trial. Permit ease of service provided for
the establishment of cooperative KSP/USP actually trigger the guise of a
cooperative lender practices prone to abuse. Another obstacle in the
government’s efforts is the presence of local autonomy that lead to change of
leadership of the cooperative department
officials to ignore individual
capacity.
Keywords:
Legal
Protection, Savings Fund, Member of the Cooperative
A.
PENDAHULUAN
Koperasi sebagai
salah satu bentuk badan usaha mempunyai peran yang sangat strategis bagi
pemberdayaan dan penguatan perekonomian rakyat. Koperasi sebagai sebuah lembaga
ekonomi rakyat telah lama dikenal di Indonesia dimana menurut Dr.Muhammad Hatta
yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, koperasi merupakan Badan Usaha
Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian,
beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah, yang bergabung secara sukarela,
berdasarkan persamaan hak dan kewajiban untuk melakukan suatu usaha yang
bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya (Mirza Gamal, 2006). Melalui
wadah koperasi, para anggota dapat melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama. Dengan semangat kebersamaan inilah koperasi hadir dan diperlukan guna
mendorong tumbuhnya usaha-usaha kecil di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan usaha dan lainnya, para anggota koperasi dapat menggunakan jasa pinjaman koperasi, tanpa
agunan dan tidak dikenakan bunga pengembalian yang tinggi. Sehingga usahausaha kecil yang ada diharapkan tetap tumbuh
tanpa harus terjerat dan terlilit hutang yang mencekik.
Selain itu, semakin membaiknya tingkat kesadaran masyarakat akan arti pentingnya
koperasi, serta proses dan prosedur yang mudah dalam pendirian sebuah koperasi,
menjadi kontribusi tersendiri banyak berdirinya koperasi di hampir setiap
wilayah pedesaan. Koperasi sebagai suatu badan usaha yang berbadan hukum dapat
melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam sebagai salah satu usaha atau
satu-satunya kegiatan usaha koperasi.
Koperasi Simpan Pinjam
secara khusus dalam kegiatan usahanya menerima tabungan (penghimpunan dana) dan
menyalurkannya, yang berasal dari dan untuk para anggotanya atau koperasi lain dan/atau anggotanya (Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Th.1992
tentang Perkoperasian). Namun koperasi tidak dapat menjalankan
usahanya seperti bank yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya
pada masyarakat dalam bentuk kredit
dan bentuk lainnya (Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia No.7 Th.
1992 tentang Perbankan). Tantangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
atau Unit Simpan Pinjam (USP) secara umum adalah untuk meneguhkan eksistensi
dan perannya, baik terhadap persoalan pengelolaan, manajemen, SDM,
maupun dalam menghadapi persaingan pasar bebas. Tantangan ini
yang harus dapat dijawab oleh KSP/USP sebagai badan usaha yang berbasis
anggota, untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Banyaknya
bank dan lembaga keuangan non koperasi akan meningkatkan
persaingan usaha, sehingga KSP/USP dituntut untuk dapat meningkatkan pelayanan,
khususnya dalam menciptakan rasa kepercayaan anggota terhadap koperasi,
termasuk memberikan jaminan perlindungan hukum dana para anggota. Dewasa ini
banyak bertumbuh kembang penawaran produk investasi berupa simpanan berjangka
pada KSP/USP dengan janji tingkat pengembalian yang cukup tinggi. Penawaran
produk investasi itu dilakukan secara terbuka kepada masyarakat luas, baik melalui
iklan surat kabar, brosur-brosur maupun menggunakan media internet. Tawaran
semacam ini sangatlah menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap
pragmatis untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh
keuntungan tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara
masak terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak
warga masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya. Fenomena
di atas tentunya harus dicermati secara kritis, karena tidak sedikit yang kemudian
bergulir menjadi kasus hukum, janji-janji semula seperti yang ditawarkan
koperasi kemudian tidak sesuai dengan kenyataan, bahkan ketika dana milik para
anggota tidak bisa diambil kembali. Pengurus atau pengelola koperasi menjadi tersangka
dengan sangkaan telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Perbankan/Koperasi,
melakuktindak pidana penipuan dan/atau penggelapan.
Sebagai contoh
kasus penipuan investasi berkedok koperasi di Pangkalpinang dan di Bali yang berujung pada
penangkapan manajer koperasi (Liputan 6 SCTV, edisi 2 April 2009). Kasus dugaan
penipuan di Disperindagkop Ciamis dengan nilai uang sejumlah Rp.750 juta
(Harian Pikiran Rakyat, edisi 17 Mei 2011). Kasus penipuan bermodus deposito oleh
sebuah koperasi di Mojokerto yang menyebabkan korban menelan kerugian sebesar 4
miliar rupiah (Jawa Pos, edisi 26 Mei 2011). Kasus penggelapan uang anggota
koperasi di Bojonegoro setelah korban diberi iming-iming share 2 persen
per bulan (Wartapedia, edisi 27 Mei 2011). Ada pula kasus di Solo, Lampung dan Kasus
Langit Biru di Jawa Barat dan di Pare pada tahun 2011 yang sudah masuk
gugatan pidana di Pengadilan Negeri Kediri. Masih banyak lagi kasus-kasus
serupa yang kian memperburuk citra koperasi sebagai wadah penyimpanan
uang yang berisiko tinggi.
Kasus-kasus semacam ini pada
akhirnya memupuskan kepercayaan masyarakat terhadap tingkat perlindungan
hukum dana simpanan anggota koperasi. Di pihak lain, perangkat hukum
perlindungan dana anggota bagi institusi koperasi masih belum memadai. Saat ini
pemerintah hanya mendirikan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) yang diperuntukkan untuk perbankan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.24 Th. 2004 Tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun
2004 Nomor.96 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor.4420). Adanya peraturan ini membuat nasabah bank merasa lebih
aman untuk menyimpan dananya pada bank. Kendati demikian LPS juga tidak
memberikan rasa aman bagi nasabah besar/kaya, karena nilai uang nasabah yang
dijamin hanya yang bernilai maksimal 2 milyar rupiah. Belum lagi lemahnya system
pengendalian internal dan risiko pembobolan (Jawa Pos, edisi 30 Mei 2011).
Bercermin dari lemahnya perbankan di Indonesia
dalam memberikan perlindungan bagi dana nasabah, maka kondisi koperasi tampak jauh
lebih parah. KSU/USP tidak memiliki perangkat penjamin simpanan
sebagaimana yang dimiliki oleh perbankan. Oleh karena itu hampir tidak mungkin
bagi KSU/USP untuk dapat mengembangkan diri dengan menghimpun dana dalam
bilangan besar dari para anggota. Bila koperasi juga memerlukan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), maka timbul pertanyaan siapa yang harus mempersiapkan pendanaannya?
Gerakan koperasi atau Pemerintah? Kalau pemerintah yang
harus menyiapkan maka ketergantungan koperasi pada pemerintah nampak sangat
kuat. Padahal koperasi didorong untuk mandiri, seperti halnya lembaga keuangan
lainnya. Namun setidaknya dalam rangka pembinaan, karena koperasi masih belum
dinilai mampu, maka LPS koperasi ini dapat dibentuk dan diprakarsai oleh
pemerintah.
Agar
tidak terlalu membebani pemerintah, maka diperlukan peran serta Gerakan Koperasi
melalui IKSP (Ikatan-Koperasi Simpan-Pinjam) dalam pengelolaan LPS (Sudibyo, 2010). Lemahnya sistem
hukum perkoperasian di Indonesia mengakibatkan rawan munculnya berbagai
penyimpangan dalam tubuh perkoperasian. Tidak ada suatu sanksi
hukum yang jelas dan
transparan dalam UU koperasi bagi pengelola (manager)/pengurus yang melakukan penyalahgunaan, selain dikembalikan langsung pada hukum pidana dan perdata.
Dalam tingkat risiko anggota yang tinggi ini, koperasi juga tidak memiliki lembaga
penjamin simpanan. Pada akhirnya bila terjadi penyalahgunaan dana anggota, maka
anggota koperasi adalah pihak yang paling dirugikan karena posisinya yang
lemah. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini adalah mengulas Perlindungan
Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi.
B. PERLINDUNGAN
HUKUM DANA SIMPANAN ANGGOTA KOPERASI.
1. Perlindungan
Hukum Dana Simpanan Anggota Koperasi di Indonesia Ditinjau dari Aspek Yuridis
Berdasarkan hasil wawancara
dengan 7 dinas koperasi di 5 kota di Jawa
Timur, peneliti mendapatkan temuan yang
beragam terkait aspek yuridis
perlindungan dana anggota koperasi di Indonesia.
Namun secara umum mereka menilai bahwa
perangkat hukum di Indonesia memang belum memadai untuk memberikan
perlindungan atas simpanan anggota. Isu
perangkat hukum koperasi yang saat ini paling
dibutuhkan dan belum ada adalah lembaga penjamin simpanan (LPS) sebagaimana yang
ada pada sektor perbankan. Sejauh ini
lembaga yang bisa digunakan untuk mencegah
kasus penyalahgunaan dana anggota
adalah KPKS (Komisi Pengendalian Koperasi
Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam), namun
perannya belum cukup terasa karena masih
baru dibentuk dan hanya berdasarkan SK Walikota/Bupati yang tentunya
memiliki kewenangan hukum yang serba
terbatas. Fenomena KSP/USP menjadi
bermasalah ketika dalam melakukan kegiatan usahanya telah menyimpang dari
prinsipprinsip koperasi. Semakin ketatnya
persaingan sesama koperasi, mendorong KSP/ USP untuk berinovasi dan berlomba
menarik calon anggota dengan memberikan
berbagai tawaran produk investasi
simpanan, serta pemberian bonus-bonus dan
hadiah-hadiah menarik lainnya. Strateginya
adalah memanfaatkan istilah status “calon anggota
koperasi” padahal sasarannya sebenarnya
lebih cenderung kepada masyarakat luas.
Ketentuan perundangan yang dijadikan tempat berpijak adalah Pasal 18 PP no. 9
tahun 1995 yang menyebutkan bahwa: “(2)
Calon anggota koperasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus menjadi
anggota dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan
setelah melunasi simpanan pokok.” Pola pencarian calon nasabah
seperti telah tersebut di atas, sebagai
alasan pembenarnya lebih pada pertimbangan promosi sisi bisnis, sehingga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi
sesungguhnya sudah beregeser dan semakin jauh dari
prinsip dan tujuan koperasi itu sendiri.
Tujuan koperasi yang terutama seharusnya adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan dan
memenuhi kebutuhan para anggotanya. Penyimpangan yang lain yaitu
KSP/USP membuka beberapa kantor cabang di
kotakota lain di luar domisili hukumnya,
meskipun tanpa atau belum adanya ijin
operasional dari instansi vertikal yang
berwenang maupun instansi setempat yang berwenang mengeluarkan perijinan dan
melakukan pengawasan. Dalam praktiknya seringkali KSP (Koperasi Simpan Pinjam)/Unit
Simpan Pinjam (USP) menghimpun dana dari masyarakat yang jelas-jelas
notabene bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada anggotanya di atas bunga
bank. Permasalahan akan semakin
meruncing pada waktu simpanan para anggota jatuh
tempo, tetapi koperasi tidak mampu
mengembalikan sesuai waktu dan bunga yang
dijanjikan. Hal ini disebabkan tawaran bunga
tinggi oleh koperasi ternyata tidak seimbang
dengan kontribusi usaha riil yang
digunakan untuk memutar dana tersebut, apalagi
kalau usaha tersebut berisiko mengalami
kerugian atau kebangkrutan.
Faktor penyebab lain adalah
tindakan penyelewengan oleh oknum
pengelola/ pengurus koperasi akibat
lemahnya pengawasan/ kontrol. Kemudahan dalam
perijinan pendirian koperasi telah
mendorong semakin banyaknya berdiri
koperasi-koperasi, di satu sisi keadaan ini akan membantu
perbaikan sektor usaha kecil, namun di sisi
lain, semakin banyaknya berdiri koperasi tanpa
proses perijinan yang selektif dan
pengawasan yang ketat juga akan menimbulkan
masalah, karena berpotensi penyimpangan. Berdasarkan keterangan dari
dinas-dinas koperasi yang diwawancarai,
umumnya kasus-kasus penyalahgunaan dana
anggota oleh pengurus koperasi tidak
terselesaikan di persidangan. Atau kalaupun
berhasil disidangkan, keputusan yang
dihasilkan tidak memenuhi rasa keadilan.
Proses persidangan hanya mengandalkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
tidak menjamin adanya sanksi denda yang
jelas serta sanksi administratif
(undang undang perbankan) lainnya sebagaimana
yang
dimiliki Bank Indonesia untuk
sektor perbankan. Akibatnya banyak
anggota yang harus puas menerima pengembalian
dana hanya sekian persen dari nilai
yang dulu diinvestasikan, bahkan banyak tak
bisa kembali sepeserpun. Di sinilah aspek yuridis
perlindungan dana anggota koperasi memiliki
celah yang perlu untuk disempurnakan.
Sebenarnya kasus-kasus likuiditas semacam
ini juga seringkali terjadi pada sektor
perbankan, namun perbankan masih memberi
rasa aman kepada para nasabahnya dengan
adanya Lembaga Penjamnin Simpanan (LPS).
Di koperasi belum ada lembaga
seperti itu, sehingga sangat berisiko bagi
seorang anggota koperasi untuk mengalokasikan
dana besar dalam bentuk simpanan di
koperasi. Isu
tentang LPS untuk koperasi
sebenarnya sudah lama diperdebatkan, sebab
banyak implikasi yang harus dipikirkan
bila lembaga ini dibentuk untuk koperasi. Bagaimananapun industri perbankan berbeda dengan koperasi. Tak
dapat dipungkiri pula bahwa perbankan di Indonesia
lebih mendominasi dan berkontribusi
bagi pertumbuhan ekonomi daripada
koperasi. Dengan alasan itu pula maka
sektor perbankan lebih mendapat
perhatian khusus dalam aspek yuridisnya, khususnya
melalui peran Bank Indonesia. Pada tahun 1998, krisis moneter
dan perbankan yang menghantam
Indonesia, yang ditandai dengan
dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan.
Untuk mengatasi krisis yang
terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan diantaranya memberikan jaminan
atas seluruh kewajiban pembayaran
bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Melalui
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang
Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor
193 Tahun 1998 tentang Jaminan
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat dan disempurnakan dengan
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan mengamanatkan
pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana
masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia
mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang
tersebut, LPS dibentuk sebagai suatu lembaga
independen yang berfungsi menjamin simpanan
nasabah penyimpan dan turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan
sesuai dengan kewenangannya.
Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
- Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
- Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.
Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS):
- Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
- Melaksanakan penjaminan simpanan.
- Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
- Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik.
- Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) :
- Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
- Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
- Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
- Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
- Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/ atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.
- Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
- Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
- Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
- Menjatuhkan sanksi administratif. (Situs Resmi LPS, online)
Dasar hukum LPS antara lain:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal Lembaga Penjamin Simpanan.
Paparan tentang LPS di atas
menunjukkan bahwa secara yuridis pemerintah menjamin dana nasabah perbankan
nasional. Koperasi sebagai salah satu pilar
ekonomi diharapkan juga memiliki
perlakuan yang
sama. Peraturan
perundang-undangan tentang Koperasi Simpan Pinjam,
yaitu:
- UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, PP No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi.
- Kepmenkop No.351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi.
Pada peraturan perundangan
tersebut belum terdapat adanya pengaturan
secara khusus mengenai perlindungan
maupun jaminan penyelesaian bila terjadi
penyimpangan terhadap dana anggota koperasi
yang
berakibat kerugian bagi anggota
tersebut. Mengingat KSP tergolong bisnis pengelolaan uang yang penuh
dengan risiko, maka untuk perkembangannya
diperlukan aturan/kebijakan dari Pemerintah
yang dapat
memberikan perlindungan bagi dana anggota. Dalam beberapa kasus
penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pengurus KSP, akhirnya para
anggotalah yang tetap dirugikan, apalagi dana
miliknya tidak
dapat kembali seutuhnya.
Sedangkan asset koperasi sangat minim, bahkan
jauh bila dibanding dengan akumulasi
simpanan para nasabah. Menurut Sularso
(Sularso, 2002: 104), KSP/USP memiliki indikasi
kerawanan yang harus diwaspadai, yaitu:
- USP sebagai salah satu unit dalam koperasi.
- KSP/USP mengembangkan pelayanan pada bukan anggota,
- KSP/USP dijadikan sebagai payung legal pelepas uang,
- Tidak pruden dalam memberikan pinjaman,
- Kurang memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi.
Wakil Gubernur Jatim Drs. H.
Saifullah Yusuf mengusulkan adanya lembaga
penjaminan simpanan (LPS) bagi anggota
koperasi yang dituangkan dalam Rancangan
Undang- Undang (RUU) tentang Koperasi. LPS
ini dirasa penting dan cocok untuk
meningkatkan kinerja koperasi. Lembaga
penjaminan yang dimaksud seperti yang
diterapkan di dunia perbankan (Humas Setda
Prov. Jatim, 2011). Kendati demikian bila koperasi
juga memerlukan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) sebagaimana perbankan, maka
timbul
pertanyaan siapa yang harus
mempersiapkan pendanaannya? Gerakan koperasi
atau Pemerintah? Kalau pemerintah yang
harus menyiapkan maka ketergantungan
koperasi pada pemerintah nampak sangat
kuat.
Padahal koperasi didorong untuk mandiri, seperti halnya lembaga keuangan
lainnya. Namun setidaknya dalam rangka
pembinaan, karena koperasi masih belum
dinilai mampu, maka LPS koperasi ini
dapat dibentuk dan diprakarsai oleh pemerintah.
Agar tidak terlalu membebani
pemerintah, maka diperlukan peran serta Gerakan
Koperasi melalui IKSP dalam pengelolaan
LPS.
2. Peranan
Pemerintah dalam Melindungi Dana Simpanan
Anggota Koperasi
Ketika isu tentang LPS koperasi
dan revisi undang-undang
perkoperasian masih menjadi perdebatan, maka dengan
perangkat yang ada pemerintah (Kementerian
Koperasi dan UKM maupun Disperindagkop
setempat/ wilayah) dituntut melakukan
optimalisasi peran dan fungsinya untuk
mencegah terjadinya kasus-kasus
penggelapan dan penipuan dalam tubuh koperasi.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 7 dinas
koperasi di 5 kota di Jawa Timur, peneliti
memperoleh informasi yang beragam tentang
kiat-kiat pemerintah daerah dalam
mengupayakan perlindungan dana anggota
koperasi. Secara umum pemerintah, khusunya yang
ada di daerah melalui dinas koperasi
melakukan upaya sebagai berikut:
- Melakukan optimalisasi pembinaan koperasi Dinas koperasi di daerah berupaya untuk melakukan pembinaan secara periodik kepada koperasi-koperasi yang ada dengan mensosialisasikan informasi agar koperasi tetap berpijak pada prinsip-prinsip koperasi. Dalam kenyataan di lapangan fungsi ini sudah berjalan tapi belum optimal. Dinas koperasi umumnya hanya dianggap simbolisasi formalitas belaka. Oleh sebab itu fungsi pembinaan harus benar-benar dijalankan secara progresif. Dinas koperasi perlu aktif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan, diklat, seminar dan kunjungan pada koperasikoperasi yang ada. Semakin seringnya ada pertemuan pembinaan, maka akan semakin banyak informasi yang didapat oleh pengurus dan pengelola, bahkan oleh anggota koperasi. Selain itu banyak masalah-masalah koperasi yang dapat didiskusikan, termasuk dalam hal penggunaan dana anggota koperasi secara sehat dan transparan.
- Mengoptimalkan fungsi fasilitator Dinas koperasi didaerah harus siap kapanpun dan dimanapun untuk menjadi fasilitator kegiatan koperasi. Fungsi fasilitator yang nyata adalah sebagai saksi ahli dalam persidangan untuk kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Namun pertanyaannya adalah apakah personel dinas koperasi sudah cukup capable untuk menjadi fasilitator. Dalam kenyataannya hanya sedikit personel dinas koperasi yang mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan. Oleh sebab itu seiring perkembangan perkoperasian, maka personel dinas koperasi harus terus meningkatkan kapasitas dan pengetahuannya agar siap dan mampu menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus-kasus penyalahgunaan dana anggota. Dengan demikian akan dimungkinkan putusan pengadilan yang seadil-adilnya bagi anggota koperasi yang dirugikan. Misalnya dalam hal keputusan pailit koperasi dan lelang aset bagi anggota kreditur koperasi.
- Memperketat perijinan pendirian koperasi Dinas koperasi di daerah berwenang memberikan ijin pendirian koperasi. Selama ini ijin diberikan dengan mudah dengan harapan bahwa koperasi akan tumbuh subur dan mampu menjalankan roda perekonomian daerah dan berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat kecil. Namun kemudahan perijinan ini juga dilematis, karena di sisi lain akan berpotensi terjadi “koperasi jadi-jadian” yang hanya sebagai kedok bagi praktik rentenir, lebih-lebih bila berakhir pada kasus penggelapan dana anggota. Oleh sebab itu kemudahan perijinan koperasi, khususnya KSP/USP harus mempertimbangkan aspek jaminan perlindungan dana anggota. Dinas koperasi perlu menerapkan kehati-hatian dan kejelian apakah sebuah koperasi layak untuk diijinkan berdiri dan beroperasi. Untuk menekan risiko, maka modal penyertaan dan aset koperasi sedapat-dapatnya ditetapkan dalam jumlah besar. Setidaknya bila terjadi kasus likuiditas, maka modal pernyertaan dan aset dapat mencukupi pengembalian dana anggota.
- Membentuk Komisi Pengendalian Koperasi Simpan Pinjam (KPKS) Secara khusus, pemerintah propinsi Jawa Timur telah membentuk KPKS melalui SK Gubernur Jawa Timur guna mengawasi dan mengendalikan KSP/USP yang ada di Jawa Timur. Walaupun berkekuatan hukum terbatas pada tingkat propinsi, namun peran KPKS diharapkan dapat menjadi titik terang bagi terbentuknya iklim KSP/USP yang lebih sehat di masa mendatang. Permasalahannya tinggal bagaimana wujud nyata peran KPKS di kabupaten/kota, apakah KPKS mampu menjalankan fungsinya dengan profesional, netral dan transparan. Sejauh ini hal tersebut belum tampak, sebab KPKS memang baru dibentuk setahun terakhir. Harapan yang besar terhadap KPKS seyogyanya dapat diresponi oleh pemerintah dengan membuat terobosan perlindungan dana anggota melalui perwujudan koperasi yang sehat dan produktif.
- Menumbuhkan Kemandirian Koperasi Kemandirian dalam hal ini tidak hanya menyangkut kemandirian dalam penggalangan dana, tetapi juga kemandirian untuk mengatasi masalah-masalah intern koperasi, namun apabila tidak terselesaikan maka koperasi dapat menempuh proses sesuai hukum yang berlaku. Dalam hal ini peran Rapat Anggota Koperasi sangatlah besar untuk membahas masalah intern dalam tubuh koperasi dan merumuskan solusi bersama.
C. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik
dari hasil penelitian dan pembahasan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Perangkat hukum koperasi bagi KSP (koperasi simpan pinjam)/USP (usaha simpan pinjam) masih memiliki celah yang besar bagi praktik penggelapan dana anggota koperasi, karena peran dinas koperasi hanya sebatas pembina dan fasilitator dan tidak ada lembaga penjamin simpanan (LPS) khusus koperasi sebagaimana pada sektor perbankan. Kasus-kasus persidangan hanya menggunakan perangkat hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak ada ketentuan hukum perkoperasian yang secara khusus mengatur tentang sanksi denda dan sanksi adminis51 tratif lainnya sebagaimana ada pada sektor perbankan.Perlunya penerapan & pelaksanaan kode etik koperasi di dalam Undang-Undang Koperasi yang baru nantinya (Penemu ide kode etik Prof Dr Nirbito).
- Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas koperasi kabupaten/ kota untuk membantu melindungi dana anggota koperasi masih kurang optimal. Dinas koperasi melakukan fungsi pembinaan cenderung bersifat formalitas belaka, kurang terprogram dan memberi manfaat yang nyata. Dinas koperasi berperan sebagai saksi ahli dalam persidangan, namun kualitas personel dinas koperasi masih kurang capable. Dinas koperasi terlalu mudah memberikan ijin pendirian koperasi, sehingga memicu praktik rentenir berkedok koperasi yang rawan terjadi penyalahgunaan. Lembaga KPKS yang dibentuk melalui SK Gubernur Jawa Timur belum tampak nyata kontribusinya bagi penciptaan iklim perkoperasian KSP/ USP yang sehat dan profesional.
Nuli Rahayu (25211272) / 2EBO9
Fakultas Ekonomi
2011-2012
CrownQQ Agen DominoQQ BandarQ
BalasPadamdan Domino99 Online Terbesar
Yuk Buruan ikutan bermain di website CrownQQ
Sekarang CROWNQQ Memiliki Game terbaru Dan Ternama loh...
10 permainan :
=> Poker
=> Bandar Poker
=> Domino99
=> BandarQ
=> AduQ
=> Sakong
=> Capsa Susun
=> Bandar 66
=> Perang Baccarat
=> Perang dadu (NEW GAME)
Promo Yang berlaku
=> Bonus Refferal 20%
=> Bonus Turn Over 0,5%
=> Minimal Depo 20.000
=> Minimal WD 20.000
=> 100% Member Asli
=> Pelayanan DP & WD 24 jam
=> Livechat Kami 24 Jam Online
=> Bisa Dimainkan Di Hp Android
=> Di Layani Dengan 5 Bank Terbaik
=> 1 User ID 10 Permainan Menarik
=> Menyediakan deposit Via Pulsa
Link Resmi CrownQQ:
- hokicrown.com
- hokicrown.net
- hokicrown.org
Info Lebih lanjut Kunjungi :
Website : CrownQQ
WHATSAPP : +6287771354805
Line : CS_CROWNQQ
Facebook : CrownQQ Official
Kemenangan CrownQQ : Agen BandarQ