Review 2
B. Rukun
dan Syarat Akad Kedua: Pernyataan Kehendak
Pernyataan kehendak yang
biasanya disebut sebagai sighat akad, yakni suatu ungkapan para pihak yang
melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau
penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang
dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul ini merepresentasikan perizinan
(ridha, persetujuan) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah
pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari akad. Agar ijab dan qabul ini
menimbulkan akibat hukum, maka disyaratkan dua hal. Pertama, adanya persesuaian
(tawafuq) antara ijab dan qabul yang menandai adanya persesuaian kehendak
sehingga terwujud kata sepakat. Kedua, persesuaian kehendak tersebut haruslah
disampaikan dalam satu majelis yang sama (kesatuan majelis)
1.
Persesuaian ijab dan qabul.
Pernyataan kabul
disayaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak
hal. Pernyataan jawaban yang tidak sesuai dengan ijab tidak dinamakan sebagai
qabul. Penjual kitab menjual kitabnya dengan harga Rp 30.000, kemudian pembeli
menyatakan qabul dengan harga Rp 20.000, maka akad tidak terjadi dalam keadaaan
ini. Begitu juga, keserasian qabul harus sesuai dalam berbagai sifat. Seperti
ijab menjual sepetak kebun, lalu qabul menyatakan separohnya, maka akad tidak
terjadi, kecuali pihak
yang lainnya menyetujuinya. Jika perselisihan qabul terhadap ijab tersebut
justru menguntungkan pihak mujib, ketidakserasian ini tidak menjadi penghalang
berlangsungnya akad, karena yang demikian itu tidak dinamakan perselisihan
dalam akad akan tetapi penambahan dalam kesepakatan (qabul bi al-mubalaghah).
Misalnya, jika pihak pembeli menyatakan ijab dengan harga Rp. 10.000, pihak
penjual menyatakan qabul dengan harga Rp 9.000, atau pihak penjual menyatakan
ijab dengan harga Rp.9.000 dan pembeli menyatakan qabul dengan harga Rp.
10.000.
Sebagai salah satu azaz
dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu perjanjian yang dipegangi adalah
pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan
manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang
mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan
melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat
menyatakan kehendak batin tersebut. Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan
dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah
kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan
untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad.
Dalam hukum perjanjian
Islam, pernyataan kehendak sebagai manifestasi eksternal ini, dapat dinyatakan
dalam berbagai bentuk:
a.
Pernyataan kehendak secara lisan, di mana para pihak mengungkapkan kehendaknya
dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk
ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. Pernyataan kehendak melalui
ucapan itu harus jelas maksudnya dan tegas isinya. Ijab dan qabul dapat
dilakukan secara langsung dan dapat juga dilakukan dengan tidak berhadapan
langsung, melalui telepon misalnya. Tentang permasalahan akad secara tidak
berhadapan langsung ini, terdapat
permasalahan di dalamnya, yakni penentuan kapan terjadinya akad jika
dihubungkan dengan kesatuan majelis akadnya sebagai syarat ijab dan qabul. Hal
ini akan dibahas pada bagian majelis akad.
b.
Pernyataan akad melalui tulisan. Selain melalui perkataan lisan, akad juga
dilakukan melalui tulisan. Dalam fungsinya sebagai pernyataan kehendak, tulisan
mempunyai fungsi dan kekuatan yang sama dengan akad secara lisan. Akad dalam
bentuk ini sangat tepat untuk akad yang dilaksanakan secara berjauhan dan
berbeda tempat. Akad ini dapat juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang
lebih sulit seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan
ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam
bentuk tertulis karena diperlukan alat bukti dan tanggungjawab terhadap
orang-orang yang yang bergabung dalam badan hukum tersebut. Dalam hal tidak
satu tempat ini, akad dapat dilaksanakan melalui tulisan dan mengirimkan
utusan. Dalam hal ini terdapat kaidah fiqih: “tulisan bagi orang yang hadir
sepadan dengan pembicaraan lisan orang yang hadir”.
c.
Penyampaian ijab melalui tulisan, bentuknya adalah bahwa seseorang mengutus
orang lain kepada pihak kedua untuk menyampaikan penawarannya secara lisan apa
adanya. Hal ini beda dengan penerima kuasa, di mana ia tidak sekedar
menyampaikan kehendak pihak pemberi kuasa (al-muwakkil) melainkan juga
melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya sendiri atas nama pemberi
kuasa, sedang utusan tidak menyatakan kehendaknya sendiri melainkan
menyampaikan secara apa adanya kehendak orang yang mengutusnya (al-mursil).
Bila kehendak pengutus telah disampaikan kepada mitra janji dan mitra tersebut
telah menerima ijab tersebut (menyatakan qabulnya) pada majelis tempat
dinyatakan ijab itu, maka perjanjian telah terjadi. Bila ijab tersebut
disampaikan tanpa adanya perintah dari prisipal, kemudian diterima oleh mitra
janji, maka akadnya dianggap terjadi akan tetapi berstatus mauquf, karena ia
dianggap sebagai pelaku tanpa kewenangan (fuduli). Bila ijab
disampaikan melalui tulisan/surat, dan penerima surat tersebut menyatakan
penerimaannya terhadap penawaran tersebut, maka perjanjian dianggap sudah
terjadi. Apabila penerima tulisan tersebut tidak menyatakan penerimaannya pada
majelis tempat diterimanya surat tersebut, maka penawaran tidak terhapus, tapi
tetap berlaku selama surat tersebut ada pada penerimanya. Ini beda dengan
penawaran melalui utusan, apabila tidak dijawab oleh penerima penawaran di
tempat disampaikannya penawaran tersebut, maka ijab menjadi hapus dan diperlukan ijab baru.
d.
Pernyataan Kehendak dengan isyarat. Suatu perjanjian tidak hanya dapat dilakukan
oleh orang yang normal, akan tetapi bisa juga dilakukan oleh orang yang cacat
melalui isyarat dengan syarat jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kehendak
untuk membuat perjanjian. Bila yang berakad adalah orang yang mampu untuk
berakad secara lisan, maka akadnya tidak dianggap terwujud. Ia harus
memanifestasikan kehendaknya secara lisan atau tulisan, karena isyarat meskipun
menunjukkan kehendak, ia tidak memberikan keyakinan jika dibandingkan dengan
keyakinan yang dihasilkan dari akad secara lisan atau tulisan. Demikian
pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Hanya
saja para fuqaha berbeda pandangan tentang kapan bentuk isyarat ini digunakan
bagi orang yang normal. Ada yang menganggapnya sebagai pengecualian ketika cara
lain tidak dapat dipergunakan. Syafi’i tidak membolehkan digunakannya bentuk
pernyataan kehendak secara tulisan, tentunya untuk isyarat lebih-lebih tidak
membolehkannya. Yang paling fleksibel adalah pendapat mazhab maliki yang
membenarkan penggunaan isyarat oleh siapapun juga sekalipun bukan orang yang
cacat. Akad dapat terjadi dengan segala cara yang bisa menunjukkan perizinan
(ridha) para pihak.
e.
Pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Seiring dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung,
tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya.
Bentuknya, adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah
memahami perbuatan perjanjian tersebut dengan segala akibat hukumnya. Misalnya jual
beli yang terjadi di supermarket misalnya, yang tidak ada proses tawar menawar.
Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan
pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan
sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan
persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi. Fuqaha juga berbeda pandangan tentang jenis pernyataan
ini. Kelompok Hanafiah menganggap sah akad secara ta’ati dalam setiap
akad kebendaan, jika hal ini telah menjadi kebiasaan sebuah masyarakat,tetapi
harga barang harus diberitahukan dengan jelas. Menurut Malikiyah akad ta’ati
ini harus disertai dengan indikasi yang sangat jelas yangn menunjukkan
kerelaan masing-masing pihak, baik telah menjadi adat atau tidak. Sedang
menurut Ssyafi’iyyah, akad tidak bisa dilaksanakan secara ta’ati
2.
Kesatuan Majelis Akad
Sebelumnya telah
dijelaskan berbagai cara untuk menyatakan kehendak, salah satunya adalah dengan
tulisan, atau secara lisan dimana masing-masing pihak tidak berada dalam
kesatuan majelis, melalui telepon misalnya. Sementara itu, para fuqaha
menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus dilaksanakan dalam satu
majelis akad.
Tempat dan waktu di mana
kedua belah pihak berada pada saat negosiasi yang dimulai dari saat diajukannya
ijab dan berlangsung selama mereka tetap fokus pada masalah perundingan
perjanjian serta berakhir dengan berpalingnya mereka dari negosiasi tersebut,
inilah yang disebut dengan majelis akad. Teori majelis akad ini secara umum
dimaksudkan untuk menentukan kapan dan di mana akad terjadi dan secara khusus untuk
menentukan kapan qabul dapat diberikan dan untuk memberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak guna mempertimbangkan akad itu. Sebagai konsekwensi dari
teori majelis akad ini adalah lahirnya khiyar qabul, khiyar penarikan (khiyar
ar-ruju’) dan khiyar majelis (khiyar al-majelis).
Kesatuan akad seharusnya
tidak dipahami secara kaku dalam batasan dimensi ruang dan waktu. Sebaliknya
konsep kesatuan majelis perlu dikembangkan sejalan dengan perkembangan dan
kemajuan media bisnis. Dalam hal ini, kesatuan majelis menjadi tidak ada
artinya jika para pihak secara fisik bersatu dalam majelis akad akan tetapi
tidak terjadi kesesuaian gagasan bertransaksi, jika dibandingkan dengan
transaski yang dilakukan dalam keadaan berjauhan akan tetapi kesatuan atau
kesepakatan transaksi antara kedua pihak secara substantif telah tercapai.
Kesatuan majelis tidaklah
dimaksudkan dengan kesatuan tempat dan waktu, karena hal ini akan sulit
diterapkan dalam realitas kehidupan kontemporer, di mana transaksi bisa saja
terjadi melalui alat komunikasi yang menempatkan para pihak tidak dalam
kesatuan tempat. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan kesatuan majelis akad
adalah kesatuan waktu, bukan kesatuan tempat secara fisik, di mana para pihak
yang berakad masih fokus pada perjanjian yang dibuat. Ketika salah satu pihak
sudah pindah
perhatian, maka majelis
akad dianggap telah berakhir. Dengan demikian, maka akad dengan ijab melalui
telepon atau alat komunikasi adalah majelis sejak dibuatnya ijab melalui
telepon atau dikirimkannya surat sampai ada jawaban dari pihak lawan. Ijab
dianggap berakhir ketika pembicaraan dialihkan kepada soal lain sebelum qabul
dinyatakan.
Masalahnya sekarang adalah
bagaimana menentukan kapan tercapainya kesepakatan dalam akad antara pihak yang
berjauhan tempat. Kepastian hal ini adalah penting untuk menentukan kapan hak
khiyar ruju’ bisa digunakan, penentuan kadaluarsa dan resiko. Untuk menjawab
permasalahan ini, bisa digunakan 4 teori dalam hukum Barat mengenai kapan
perjanjian dianggap lahir antara pihak yang berjauhan tempat, yaitu:
a. Teori
pernyataan, lahirnya perjanjian di saat penerima menyatakan akseptasinya, dalam
hal ini pernyataan tertulis. Alasannya adalah bahwa teori ini sesuai dengan
asas umum bahwa perjanjian adalah pertemuan kehendak kedua belah pihak. Bila
pihak yang mendapat penawaran telah menyatakan akseptasinya berati perjanjian
telah lahir. Teori ini juga sesuai dengan karekater dunia perdagangan yang
cepat dan praktis, di mana pihak yang mendapat penawaran dapat memenuhi
kepentingannya seketika ia menyatakan penerimaannya. Kelemahan teori ini adalah
tidak diketahui dengan pasti kapan akseptasi diberikan oleh pihak mitra janji
sehingga sulit ditentukan kapan bisa digunakan hak khiyar ruju.
b. Teori
pengiriman. Perjanjian lahir di saat pernyataan akseptasi final dibuat sehingga
tidak dapat diulur-ulur lagi. Pernyataan final ini terwujud pada saat akseptor
mengirimkan jawabannya kepada pembuat penawaran. Kelemahan teori ini tetap
tidak diketahui dengan pasti oleh pihak yang memberikan penawaran kapan adanya
penerimaan penawaran oleh pihak penerima penawaran. Belum lagi, surat atau
kiriman bisa saja dikembalikan oleh kantor pos atau telegram, bahkan bisa
terjadi kehilangan.
c. Teori
penerimaan. Lahirnya perjanjian di saat orang yang membuat penawaran menerima
jawaban akseptasi dari pihak yang menerima penawaran, baik pembuat penawaran
telah mengetahui isi surat jawaban tersebut ataupun belum mengetahuinya karena
belum membukanya. Di sini diandaikan bahwa dengan menerima surat itu ia dianggap
ia telah mengetahui isinya. Teori ini memperbaiki teori pengiriman dengan
menggeser waktu terjadinya perjanjian hingga saat pembuat penawaran menerima
surat jawaban akseptor sekalipun ia belum tahu isinya, yang penting suratnya
telah sampai.
d. Teori
pengetahuan. Lahirnya perjanjian di saat pembuat penawaran mengetahui jawaban
akseptasi dari akseptor dengan cara membuka dan membaca isi surat yang
dikirim oleh akseptor kepadanya. Teori ini tetap saja mempunyai kelemahan,
yakni masih adanya kesempatan untuk mengulur-ulur waktu terjadinya perjanjian
dengan cara sengaja tidak membuka surat jawaban akseptasi yang dikirim oleh
akseptor. Di samping itu, sulit pula menentukan kapan sesungguhnya ia
mengetahui isi surat itu dan yang tahu hal tersebut hanya orang bersangkutan.
Kelemahan ini ditutup dengan memperluas arti mengetahui itu dengan persangkaan
mengetahui, sehingga berdasarkan patokan ini, perjanjian lahir pada saat yang
patut dipersangkakan bahwa pembuat penawaran mengetahui jawaban akseptasi yang
dikirim oleh akseptor. Jadi, pembuat penawaran tidak mesti mengetahui secara
aktual terhadap jawaban akseptasi. As-Sanhuri
sebagai arsitek sejumlah kitab undang-undang hukum perdata di negeri Arab,
menganut teori pengetahuan yang disempurnakan ini.35 Menurutnya, karena penawaran
dibuat oleh pembuatnya, maka kehendaknyalah yang harus dipertimbangkan dan
menentukan kapan perjanjian itu lahir. Akseptasi dari pihak kedua tidak lain
hanya menyetujui tawaran pembuat penawaran itu dan jika tidak sesuai berarti
tidak terjadi perjanjian. Kalau kehendak pembuat penawaran tidak jelas, maka
kehendak itu dipersangkakan kepadanya sesuai dengan kepentingan hukumnya, yang
dapat dilihat dari diterimanya jawaban akseptasi dari akseptor oleh pembuat
penawaran.
Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi
Tiada ulasan:
Catat Ulasan