Review 1
Abstract
The field of social affairs of
Islamic law has been paid attention more betterrecently. This indicates by the
emerging of many kinds of the finance and syariah business institution.Besides,
it also enlarging of Islamic court authority in handling the cases not only
inheritance, the last will, gifth, and the waqf but also those of syariah
economics. Hence, it is urgent need to study the basic principles that becoming
the substance of transaction. Departing from these basic principles can support
to handle the cases that arise in this field of Islamic law. This contrary to
the model of Islamic jurists that always study many kinds of particular
transactions without describing the general principle. This article aims to
describe the general principles of the elements and the criteria
Keywords: akad, perjanjian, prinsip, Islam,
dan sengketa.
I.
Pendahuluan
Salah satu persoalan
mendasar yang dihadapi oleh fiqih muamalah era kontemporer sekarang ini adalah
bagaimana hukum Islam menjawab berbagai macam persoalan dan bentuk trnasaksi
ekonomi kontemporer serta perkembangannya yang belum didapat pengaturannya
dalam kitab-kitab fiqih klasik. Hal ini dapat dimaklumi, karena para fuqaha
klasik telah mengkaji fiqih muamalah secara atomistik, di mana para fuqaha
langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa merumuskan
terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati
perjanjian-perjanjian khusus tersebut. Dalam kitab-kitab fiqih, para fuqaha
klasik langsung membahas
aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa, serikat atau persekutuan usaha.
Untuk menjawab kebutuhan
di atas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam di
zaman moderen ini hendaknya ditujukan kepada penggalian asas-asas hukum Islam
dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik
tersebut. Hal ini
semakin beralasan, karena hukum Islam di bidang muamalat ini semakin mempunyai
arti yang penting, terutama dengan lahirnya berbagai institusi keuangan dan
bisnis syariah seperti perbankan, asuransi, pegadaian, obligasi dan
lain-lainnya. Hal ini tentunya menuntut penjustifikasian dari aspek syariah.
Dalam konteks Indonesia,
perkembangan terakhir dari sistem hukum nasional adalah adanya upaya untuk
memperluas aturan formal hukum Islam ke dalam bidang muamalat. Usulan ini telah
dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang memperluas yurisdiksinya. Perluasan yurisdiksi tersebut
dapat dilihat pada pasal 49 yang menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi
syariah, yakni kegiatan atau usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.
Sementara itu, aspek yang
paling penting dari fikih muamalat dalam kaitannya dengan ekonomi Islam adalah
hukum transaksi (hukum kontrak) yang meliputi asas-asas umum kontrak dan
ketentuan-ketentuan khusus bagi aneka kontrak khusus. Salah satu aspek dari
asas-asas umum tersebut adalah pembicaraan tentang rukun dan syarat akad
sebagai unsur pembentuk akad. Tanpa merumuskan hal ini terlebih dahulu, maka
akan sangat sulit untuk menyelesaikan sengketa yang dimungkinkan muncul dari
berbagai lembaga keuangan dan bisnis syariah yang telah menjadi yurisdiksinya
Peradilan Agama tersebut. Makalah ini selanjutnya akan berusaha membahas
permalahan rukun dan syarat akad tersebut.
II.
Perbedaan Pemaknaan Istilah Rukun dan Syarat
Untuk terbentuknya akad,
maka diperlukan unsur pembentuk akad.
Hanya saja, di kalangan
fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut
(rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
1.
Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2.
Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat
Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan
ijab dan qabul
Fuqaha Hanafiyah mempunyai
pandangan yang berbeda dengan Jumhur fuqaha di atas. Bagi mereka, rukun akad
adalah unsur-unsur pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yakni
sighat akad (ijab dan qabul). Al-aqidain dan mahallul akad bukan merupakan
rukun akad melainkan lebih tepat dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian
seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi
tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari
sesuatu yang ditegakkannya.Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan
pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua
kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai
rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari
perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada
di luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun
akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat
tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatan sholat. Oleh karena itu,
berdasarkan argumen ini maka al-aqid (orang/pihak yang melakukan akad) tidak
dapat dipandang sebagai rukun akad.
Adapun syarat menurut
pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala sesuatu yang dikaitkan
pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia
bersifat eksternal (kharijiy). Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut
(sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat tidak mengharuskan adanya
masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku
pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad.
Berdasarkan perbedaan
pendangan dua kelompok di atas tentang rukun akad, maka Mustafa Ahmad az-Zarqa
menawarkan istilah lain untuk
menyatukan pandangan
kedua kelompok tersebut tentang apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan rukun.
Beliau menyebutnya dengan istilah muqawwimat akad (unsur penegak akad), di mana
salah satunya adalah rukun akad, ijab dan qabul. Sedangkan unsur lainnya adalah
para pihak, objek akad dan tujuan akad.
III.
Rukun dan Syarat Akad
A. Rukun
dan Syarat Akad Pertama: Al-‘Aqidain (Para Pihak)
Ijab dan qabul sebagai
esensi akad tidak dapat terlaksana tanpa adanya al-‘aqidain (kedua pihak yang
melakukan akad). Agar ijab dan qabul benar-benar mempunyai akibat hukum, maka
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijab
dan qabul dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yakni
bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, hingga ucapannya
itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain ijab dan qabul
harus keluar dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
Dilihat
dari segi kecakapan melaksanakan akad, sebagian di antara manusia tidak dapat
melaksanakan akad apapun, sebagian lagi bisa melaksanakan akad tertentu dan
sebagian lagi cakap melakukan semua akad. Adanya perbedaan kualifikasi dalam
melakukan akad antara satu orang dengan yang lain sangat ditentukan oleh
permasalahan ahliyyah (kelayakan melakukan akad). Berikut ini akan diberikan
penjelasan tentang permasalahan ahliyyah ini.
Menurut
para ahli fuqaha dan ahli usul, ahliyyah didefenisikan dengan “kecakapan
seseorang untuk memiliki hak dan memikul kewajiban, dan kecakapan untuk
melakukan tasarruf”. Dengan
demikian, kecakapan dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut
dengan ahliyyatul wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak
hukum yang disebut dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif , dan inilah yang
dimaksudkan oleh kata-kata tasarruf di atas.
Ahliyyatul
wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan
seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas
ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta
miliknya.
Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian,
setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap
memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih berada dalam kandungan
ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan, kecakapan tersebut
belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk menerima beberapa hak
secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh
karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna
(ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat
menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan
kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada
pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz
dan meningkat lagi pada periode dewasa.
Adapun
ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah kecakapan seseorang untuk melakukan
tasarruf (tindakan hukum) dan dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang
muncul dari tindakan tersebut, yang berupa hak Allah maupun hak manusia.
Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum
melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber
atau sandaran dari kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat
membedakan antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah
dan benar dan sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode
tamyiz ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan
hukumnya hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu,
kecakapan bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakan
ahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya
dapat dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna
(ahliyyatul ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan
berakal sehat. Atau
dengan kata lain telah mencapai usia dewasa.
Selama
ini, pembahasan makna kedewasaan oleh para ahli ushul selalu dikaitkan dengan
tanda-Tanda fisik seperti ihtilam dan haid, batasan umur ketika telah mencapai
15, 17 atau 18 tahun, dan sebagainya.
Menurut
Syamsul Anwar, kedewasaan dan tamyiz haruslah dibedakan dalam kaitannya dengan
ibadah dengan kedewasaan dan tamyiz dalam lapangan hukum harta kekayaan
(muamalat maliyah). Lebih lanjut
menurut beliau, patokan kedewasaan dalam lapangan hukum muamalat malah lebih
tepat bila didasarkan kepada QS. 4:6. Dalam ayat tersebut dapat dijelaskan
bahwa anak yatim dapat mengelola harta kekayaannya sendiri ketika ia telah
mencapai usia baligh untuk menikah dan matang (rusyd). Baligh di sini maksudnya
adalah anak itu telah ihtilam, yakni keluar mani, sehingga ia mampu
melaksanakan pernikahan. Hanya saja ulama berbeda pendapat kapan usia ihtilam
tersebut dan bagaimana kriteria rusyd tersebut. Ada yang menyebutkan 12 tahun
merupakan usia ihtilam. Sedangkan maksud rusyd adalah kemampuan bertindak
secara tepat (isbatul haqq) seperti yang dikemukakan oleh al-Mawardi, dan ada
juga yang menyatakan bahwa rusyd adalah sikap yang benar dan terkendali dalam
tindakan mengelola kekayaan.
Dalam kontek Indonesia, kata rusyd tersebut
dalam diterjemahkan dengan kata kematangan. Kenyataannya, dalam kehidupan
sehari-hari dapat disaksikan bahwa anak yang berusia 15 tahun ternyata belum
begitu matang dalam berpikir apalagi untuk bertindak yang menyangkut kekayaan.
Oleh karena itu untuk menentukan kedewasaan dalam lapangan hukum kekayaaan
lebih tepat dianut pendapat fuqaha Hanafi bahwa maksud dewasa adalah ketika
seseorang memasuki usia 18 tahun dan 19 tahun, karena anak pada usia tersebut
telah matang secara fisiologis dan psikologis tanpa membedakan anak laki-laki
dan perempuan, tanpa ada pembedaaan. Ini sesuai pula dengan adat kebiasaan yang
menganggap kematangan usia tercapai pada usia 18 tahun.
Begitu
pula dengan usia 7 tahun sebagai batas usia tamyiz, lebih dekat pada
kriteria yang berlaku dalam ibadah. Untuk lapangan harta kekayaan diperlukan
usia lebih besar tetapi belum matang, yakni usia 12 tahun hingga 18 tahun,
karena pada usia 12 tahun anak sudah dapat melakukan tindakan yang murni
menguntungkan pada usia 12 tahun, sedangkan usia di bawahnya masih dipandang
sebagai usia kanak-kanak.Hal ini
sejalan pula dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang membatasi usia
mumayyiz pada usia 12 tahun.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa periodesasi manusia dalam kaitannya dengan
tingkat-tingkat kecakapan hukum dalam hukum harta kekayaan adalah: (1) periode
janin di mana subjek hukum memiliki kecakapan menerima hukum tidak sempurna,
(2) periode kanak-kanak yaitu usia 0 tahun hingga genap 11 tahun, di mana ia
memiliki kecakapan menerima hukum sempurna, hanya saja untuk kewajiban ia dapat
menerima kewajiban terbatas, (3) anak mumayyiz, yakni usia 12 tahun hingga
genap usia 18 tahun, di mana ia memiliki kecapakan bertindak hukum tidak
sempurna di samping kecakapan menerima hukum sempurna, dan (4) orang berusia
genap 18 tahun, adalah orang dewasa dan memiliki kecakapan bertindak hukum
sempurna, di samping kecakapan menerima hukum sempurna.
2. Syarat
kedua adalah bahwa untuk terwujudnya akad harus berbilang pihak atau lebih dari
satu pihak, karena pada hakekatnya, akad merupakan pertemuan antara ijab di
satu pihak dan qabul di pihak yang lain.
Akad
tidak terwujud hanya dengan satu pihak saja, sebab dalam setiap akad harus ada
dua pihak. Namun, adakalanya seseorang melakukan akad dengan mewakilkannya atau
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan akad atas namanya. Demikian
juga seseorang dapat menjadi wakil atau kuasa bagi orang lain untuk menutup
suatu perjanjian. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan seseorang melakukan akad
dengan dirinya sendiri baik sebagai pihak asil (prinsipil) di satu sisi dan di
pihak lain dalam waktu yang sama juga menjadi wakil pihak lain, atau sekaligus
menjadi wakil dari dua pihak dalam penutupan perjanjian. Bentuk kedua akad
perwakilan ini adalah tidak sah, karena pada asasnya dalam hukum Islam
penutupan perjanjian dengan diri sendiri tidak boleh dilakukan kecuali ayah
atau kakek yang mewakili anak atau cucu
di bawah perwaliannya. Hal ini karena tindakan tersebut membawa pertentangan
kepentingan sebab satu orang yang sama menjadi kreditor dan debitur serta
penyerah dan penerima sekaligus dalam waktu yang sama. Satu orang yang sama
tidak dapat menjadi sangkutan hak-hak yang saling berhadapan.
Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi
Tiada ulasan:
Catat Ulasan