Review 4
D. Rukun
dan Syarat Akad Keempat: Tujuan Akad
Tujuan akad ini merupakan
rukun tambahan, di mana sebelumnya rukun akad disebutkan hanya tiga yaitu para
pihak, sighat dan objek akad. Oleh ahli hukum Islam moderen menambahkan satu
lagi yaitu. tujuan akad. Dalam akad, kita mengenal adanya hukum akad yakni
akibat hukum yang timbul dari akad, yang dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu
hukum pokok akad dan hukum tambahan akad. Hukum pokok akad adalah akibat hukum
yang pokok yang menjadi maksud dan tujuan bersama yang hendak direalisasikan
oleh para pihak melalui akad. Hukum pokok akad inilah yang dimaksudkan dengan tujuan
akad yang menjadi rukun keempat.48 Misalnya tujuan pokok akad jual beli adalah memindahkan hak milik
atas barang dengan sejumlah imbalan. Sedangkan hukum tambahan akad adalah hak
dan kewajiban yang timbul dari akad, misalnya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada
pembeli.
Beberapa pengkaji hukum moderen
melihat konsep tujuan akad ini sebagai kausa yang menjadi dasar keabsahan dan
pembatalan perjanjian. Teori kausa sendiri merupakan konsep yang berkembang
dalam hukum Barat. Dengan demikian, mereka mencoba berbicara teori kausa dalam
hukum perjanjian Islam dalam kerangka hukum barat. Tidak ada kesepakatan
tentang teori kausa ini dalam hukum perjanjian Islam apakah ia sama dengan
motif atau ia merupakan consideration (prestasi), sama halnya dengan perdebatan
yang terjadi dalam hukum Barat sendiri. Ada juga yang menganggapnya sebagai
tujuan bersama para pihak
Abdur Razaq as-Sanhuri
merupakan sarjana hukum Islam moderen yang menganggap kausa adalah motif.
Walaupun hukum Islam tidak merumuskan ajaran kausa ini secara khusus, namun
dari berbagai detail perjanjian khusus, ajaran kausa ini dapat dirumuskan.
Menurutnya, dengan mengkaji aneka perjanjian khusus tersebut, terlihat hukum
Islam berada di antara dua kutub semangat yang berlawanan. Pertama, hukum Islam
yang bercirikan semangat objektivisme, yang lebih mementingkan dan memberikan
perhatian lebih terhadap ungkapan kehendak daripada kehendak itu sendiri. Dalam
hal ini, ajaran kausa sulit untuk mendapat tempat dan tidak berkembang. Kedua,
hukum Islam yang dicirikan oleh semangat dan prinsip etika dan keagamaan,
karena hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari agama itu sendiri. Di
sinilah ajaran kausa mendapat tempat yang luas, di mana ia digunakan untuk
mengukur kesucian hati dan niat seseorang dalam melakukan perjanjian.
Jika perbedaan orientasi
di atas dikaitkan dengan mazhab hukum dalam Islam, maka mazhab Hanafi dan
Syafi’i masuk ke dalam kategori mazhab yang dikuasai oleh semangat
objektivisme. Dalam kedua mazhab ini, motif pembentukan akad tidak
dipertimbangkan kecuali kalau disebutkan dalam akad. Motif hanya bisa masuk
dalam wilayah yang sangat sempit melalui formula akad dan ungkapan kehendak,
kalau motif tidak disebutkan dalam pernyataan kehendak, maka motif tidak
diperhitungkan. Ketika motif telah disebutkan dalam perjanjian, maka sah atau
tidaknya perjanjian tersebut tergantung pada sah atau tidaknya kausa tersebut.
Jika seseorang menyewa mobil untuk membunuh orang maka akad sewa tersebut tidak
sah karena kausanya adalah suatu yang terlarang, yakni membunuh. Sebaliknya
kalau seseorang berniat menikahi orang lain dengan niat untuk diceraikan
setelah 2 hari pernikahan, maka pernikahan tersebut dipandang sah selama tidakdiungkapkan dalam formula
akad. demikian pendapat Syafi’i
Kausa dapat pula
disimpulkan secara diam-diam dengan melihat sifat dan hakikat objek akad. Jual
beli alat musik misalnya, bisa menjadi tidak sah karena sifat dan hakikat dari
objek jual beli terkandung sifat hura-hura yang bisa menjauhkan orang dari
mengingat Allah. Demikian pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, murid dari Abu
Hanifah. Namun menurut Abu Hanifah sendiri membolehkan akad tersebut karena
alat-alat musik itu bisa saja digunakan untuk keperluan lain tidak mesti untuk
hura-hura, meskipun sifat hura-hura terkandung dalam sifat objek akad.
Mazhab Maliki dan Hanbali
adalah mazhab yang dapat dikategorikan sebagai mazhab yang didominasi oleh konsep
etis dan moral sehingga memberi tempat yang sangat luas bagi motif tanpa
mempertimbangkan apakah motif tersebut terkandung atau tidak di dalam
pernyataan kehendak (ungkapan akad) selama motif tersebut diketahui oleh pihak
lawan. Perjanjian menjadi batal atau tidak tergantung pada apakah motif itu sah
atau tidak. Hal ini dapat dilihat dalam kasus jual beli senjata kepada orang
yang diketahuinya bermaksud menggunakannya untuk membunuh orang, maka jual beli
tersebut batal. Sebaliknya, bila ia menjualnya kepada prang yang diketahuinya
untuk berjihad fi sabilillah, maka jual beli itu sah. Demikian juga yang yang
melakukan riba dengan akad jual beli yang dilakukannya, maka terjadilah riba
bagaimanapun bentuk akadnya. Demikian pendapat Ibn al-Qayyim, pemuka mazhab
Hanbali.
Mazhab Maliki membahas
konsep motif ini dalam kerangka sadd al-zari’ah (tindakan preventif). Dalam
kasus jual beli perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai
khamar, dengan alasan sadd al-zari’ah, maka jual beli tersebut menjadi batal.
Dengan kerangka berpikir seperti inilah mazhab ini mengharamkan jual beli bai’
al-‘inah yakni jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang melalui
pinjaman dengan penangguhan waktu, dan ini adalah riba yang dilarang.
Sementara itu ahli hukum
dengan latar belakang konsepsi hukum anglosakson mengkonsepsikan kausa dalam
hukum Islam sebagai consideration (prestasi), yakni prestasi yang diberikan
oleh lawan janji yang menjadi dasar pertimbangan bagi pemberi janji untuk
melaksanakan janjinya. Prestasi ini harus disetujui oleh pemberi janji yang
dapat dilihat dari kenyataan bahwa prestasi itu dikehendaki olehnya sebagai
imbalan atas janji yang ia berikan. Sebaliknya penerima janji melakukan
prestasi itu juga sebagai imbalan atas pelaksanaan janji pihak pertama. Susan E
Reiner membahas consideration ini dengan menghubungkannya dengan harga dalam objek akad.
Menurutnya, harga harus ada saat dibuatnya akad dan tidak dapat ditentukan
kemudian berdasarkan harga pasar atau diserahkan penentuannya kepada pihak
ketiga. Intinya akad harus mempunyai consideration, baik pembayaran dilakukan
seketika di majelis akad, pada waktu sebelum diserahkan atau pada yang sudah
ditentukan.
VI.
Penutup
Pembaharuan dan modernisme
mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak awal abad ke-20, karena sebagian
negara-negara muslim mulai mendapatkan kadaulatan politiknya. Periode pasca
kemerdekaan negara-negara Islam ditandai dengan beberapa situasi baru yang
sebagian merupakan konsekwensi logis dari meodernisasi periode sebelumnya.
Kemerdekaan dan kedaulatan itu sendiri sesungguhnya mengandung makna perubahan
yang sangat luas meliputi seluruh aspek bernegara dan bermasyarat, khususnya
dalam bidang tekonologi dan ekonomi.
Dalam konteks negara
Indonesia, perubahan tersebut dapat dilihat munculnya fenomena baru dalam
perkembangan perekonomian, yang dilandasi oleh semangat kembali ke syariat.
Kemunculan dan berdirinya lembaga perekonomian yang dilabeli syariat yang
diikuti dengan usulan berbagai macam bentuk peraturan untuk merespon
perkembangan tersebut, membuktikan pandangan di atas. Begitu juga kalau kita
lihat dalam konteks negara muslim secara keseluruhan. Munculnya kesadaran dan
tuntutan untuk melaksanakan aturan-aturan keperdataan Islam ke dalam Kode Sipil
Arab adalah fenomena baru dalam perkembangan hukum negara-negara Arab.
Tidak menutup kemungkinan
akan terjadi akselerasi perkembangan di bidang perekonomian syariah untuk masa
yang akan datang, di mana fikih muamalah merupakan salah satu pilar yang paling
pentingnya. Oleh karena itu, kemungkinan itu perlu dipersiapkan dengan
mengembangkan teori-teori telah yang dikembangkan oleh para fuqaha klasik yang
terserak-serak dalam berbagai kitab mereka.
Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi
Tiada ulasan:
Catat Ulasan