Review 3
C. Rukun
dan Syarat Akad Ketiga: Objek Akad
Rukun ketiga dari akad ini
adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum
yang ditimbulkannya. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau
pekerjaan atau suatu hal lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat. Tidak
semua benda dapat dijadikan objek akad. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan
objek akad ia memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. Objek
akad harus sudah ada ketika berlangsung akad. Barang yang belum ada tidak dapat
menjadi objek akad menurut pendapat mayoritas fuqaha, sebab hukum dan akibat
akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum
terwujud. Di kalangan para fuqaha, syarat ini masih terjadi selang sengketa
tentang keabsahannya. Imam Malik misalnya memandang sah akad yang sifatnya
melepaskan hak atau harta tanpa imbalan (tabarru’) terhadap benda-benda yang
mungkin eksis di masa mendatang, meskipun pada waktu akad masih belum eksis,
seperti wakaf, wasiat, hibah dan sebagainya. Ibn Taimiyyah, pengikut mazhab Hanbali, juga memandang sah akad yang
objeknya belum ada dalam berbagai bentuknya, selagi dapat dipastikan tidak akan
menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Masalahnya dalam akad yang seperti
ini bukan ada atau belum adanya objek akad, akan tetapi apakah akan mudah
menimbulkan persengketaan di kemudian hari. Dengan kata lain, unsur gharar-nya
dipastikan tidak ada. Meskipun
terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang syarat ini, secara umum
adanya persyaratan bahwa objek harus telah eksis pada waktu akad terjadi,
memang diperlukan bagi akad-akad yang memerlukan kepastian. Misalnya, jual beli
binatang dalam kandungan tidak boleh dilakukan sebab ada kemungkinan bahwa
objek akad yang belum ada tersebut, ada kemungkinannya dalam keadaan mati Dalam
hal akad tidak memerlukan kepastian seketika, dan berdasarkan atas pengalaman
yang telah menjadi adat kebiasaan yang diterima umum, bahwa kepastian di masa
mendatang akan diperoleh, maka syarat adanya objek akad pada waktu akad
diadakan, bisa diperlunak. Objek akad cukup diperkirakan akan ada di masa
mendatang, seperti dalam hal akad bagi hasil, pesan membuat barang dan lain
sebagainya.Lebih
tegas lagi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan pendapatnya tentang maksud
gharar tersebut dengan membedakan antara ‘barang yang tidak eksis’ dengan
‘ketidakpastian’ yang menimbulkan keraguan eksisnya benda tersebut di masa akan
datang. Ia menekankan bahwa yang dilarang syariat bukanlah karena tidak atau
belum eksis akan tetapi unsur ketidakpastiannya. Dengan demikian, objek akad yang
tidak ada pada waktu akad namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka
akadnya tetap sah. Sebaliknya, objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak
dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah. Dalam
konteks legislasi moderen, pembahasan tentang unsur gharar atau spekulasi lebih
banyak mengartikan gharar tersebut dengan unsur ketidakpastiannya, bukan
eksistensi barangnya, dan ini sangat berbeda dengan pembahasan fuqaha klasik
yang pada umumnya tidak membolehkan
transaksi atas barang yang tidak ada pada waktu penutupan akad, meskipun
sebagian mereka mengecualikan akad salam, istisna dan sewa menyewa. Hal ini
dapat dilihat dalam sejumlah Kode Sipil sejumlah Negara di wilayah Timur
tengah, seperti Mesir, Irak, Qatar, Jordania dan Kuwait.
2. Objek
akad dapat menerima hukum akad. Para fuqaha sepakat, bahwa akad yang tidak
dapat menerima hukum akad, tidak bisa menjadi objek akad. Dalam akad jual beli
misalnya, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi
pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda
bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karenanya keadaan ini tidak memenuhi syarat
untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah
satu pihak beragama Islam. Akad jual
beli, tidak dapat dilakukan terhadap benda mubah yang belum menjadi milik
seorangpun, sebab benda mubah masih menjadi milik semua orang untuk
menikmatinya. Begitu juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik
perseorangan, juga tidak memneuhi syarat objek akad perseorangan, seperti
hutan, jembatan dan sungai.
3. Objek
akad harus dapat ditentukan dan diketahui.
Objek
akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan
akad. Ketidakjelasan objek akad akan mudah menimbulkan sengketa di kemudian
hari, sehingga tidak memenuhi syarat objek akad. Syarat ini diperlukan agar
para pihak dalam melakukan akad benar-benar atas dasar kerelaan bersama.
Ketidakjelasan tidak mesti berkaitan dengan semua satuan barang yang akan
menajdi objek akad, tetapi cukup sebagian saja, apabila barang tersebut
merupakan suatu jenis yang dapat diketahui conntohnya atau keterangan yang
jelas tentang sifat-sifatnya. Untuk menentukan apakah syarat kejelasan suatu
objek akad itu sudah terpenuhi atau belum, adat kebiasaan (‘urf) mempunyai
peranan penting. Apabila ‘urf memandang jelas, misalnya jual beli kacang tanah
yang sudah waktunya dipanen, tetapi masih berada dalam tanah, maka
kacang yang ada dalam tanah tersebut dipandang sudah memenuhi syarat kejelasan.
Yang penting jangan sampai mengenyampingkan prinsip keadilan dalam muamalat;
penjual jangan menerima harga yang jauh di bawah harga yang wajar dan dapat
dijamin tidak akan terjadi sengketa di belakang hari.
Objek
akad itu harus tertentu maksudnya adalah diketahui dengan jelas oleh para pihak
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila objek tidak jelas
secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak
sah. Ketidakjelasan yang bersifat sedikit yang tidak membawa pada persengketaan
tidak membatalkan akad. Ahli hukum Hanfi menjadikan adat kebiasaan dalam
masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya suatu
ketidakjelasan.
Seluruh
fuqaha sepakat bahwasanya syarat ini harus dipenuhi dalam akad mu’awadah
maliyah. Adapun dalam akad lainnya, mereka berbeda pandangan. fuqaha
Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat ini harus terpenuhi pada
akad mu’awadah ghairu maliyah seperti akad nikah misalnya. Demikian juga halnya
Hanafiyah, hanya saja mereka tidak mensyaratkan pada akad tabarru’. Sedangkan
Imam Malik tidak mensyaratkan pada selain akad mu’awadah al-maliyah.
Apabila
objek akad berupa perbuatan, maka objek tersebut juga harus tertentu atau dapat
ditentukan, dalam pengertian jelas dan diketahui oleh para pihak. Dalam akad
melakukan sutu pekerjaan, pekerjaan tersebut harus dijelaskan sedemkian rupa
sehingga meniadakan ketidakjelasan yang mencolok.
4. Objek
akad dapat ditransaksikan.
Hal ini
tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada waktu
akad yang telah ditentukan, objek akad dapat diserahkan, karena memang
benar-benar berada di bawah kekuasan yang sah pihak yang bersangkutan. Dengan
demikian, ikan di laut, burung di udara, binatang yang masih berkeliaran di
hutan tidak memnuhi syarat untuk menjadi objek akad. Untuk dapat diserahkan,
maka objek akad tersebut harus memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Tujuan
objek akad tidak bertentangan dengan transaksi. Dengan kata lain, sesuatu tidak
dapat ditransaksikan bila transaksi bertentangan dengan tujuan yang ditentukan
untuk sesuatu tersebut. Misalnya wakaf, karena barangnya ini sudah dilembagakan
untuk dimanfaatkan untuk kepentingan agama atau umum, maka milik individu atas
benda tersebut sudah berubah menjadi milik umum (milik Allah). Aturannya benda wakaf dilarang
untuk dijual. Akan tetapi aturan umum ini dapat disimpangkan dengan adanya
alasan syar’i. misalnya, gedung sekolah yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi
pendidikan seperti yang disebutkan dalam ikrar wakaf, maka benda tersebut boleh
dijual dan diganti di tempat lain. Begitu juga dengan objek akad perbuatan.
Pengerjaan sholat dan menjalani hukuman tidak bisa digantikan oleh orang lain.
b. Sifat
objek akad tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak
dapat ditransaksikan bila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan
untuk diadakan transaksi. Bendanya yang tidak berharga atau bertentangan dengan
aturan syariat, maka objek akad yang seperti ini tidak bisa ditransaksikan.
c. Objek
akad tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak sah akad
terhadap benda-benda yang bertentangan dengan ketertiban umum. Termasuk ke dalam
perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum ini adalah riba dan
klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan syarak.
Nuli Rahayu (25211272)/2EB09
Fakultas Ekonomi
Tiada ulasan:
Catat Ulasan